01 April, 2015

Fiqh Nikah (4) [Wanita Yang Boleh Dilamar, Melamar Wanita Yang Menjalani Masa ‘Iddah Dari Orang Lain, dan Melamar Wanita Setelah Dilamar Oleh Yang Lain]


بسم الله الرحمن الرحيم


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:

Berikut ini lanjutan pembahasan tentang pernikahan dan hal-hal yang terkait dengannya, semoga Allah menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Wanita yang boleh dilamar

Wanita boleh dilamar jika terpenuhi dua syarat:

1.     Tidak ada penghalang syar’i yang menghalangi untuk dinikahi saat itu.

      Jika ada penghalang syar’i, misalnya wanita itu haram dinikahinya baik mu’abbadah (selamanya) maupun mu’aqqatah (hanya sementara waktu) maka tidak boleh dilamar.

2.     Tidak didahului dikhitbah oleh orang lain.

Jika sudah dilamar oleh orang lain, maka ia tidak boleh melamarnya.

Melamar wanita yang menjalani masa ‘iddah dari orang lain

Haram melamar wanita yang menjalani masa ‘idddah (menunggu), baik karena ‘iddah wafatnya suaminya maupun ‘iddah karena ditalaq (dicerai), baik talaqnya talaq raj’iy maupun talaq ba’in.

Beberapa Faedah/Catatan:

q Jika seorang wanita menjalani masa ‘iddah karena talaq raj’iy, maka haram dilamar, karena wanita itu masih belum lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya, di mana suaminya berhak merujuknya kapan saja ia mau.

q Jika wanita menjalani masa ‘iddah karena talaq ba’in, maka yang haram adalah dilamar secara sharih (tegas)[1], karena hak suami masih terkait,  dan suami berhak merujuknya dengan ‘akad yang baru. Jika seseorang maju melamarnya adalah sama saja mendahului bekas suaminya. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal melamar wanita tersebut dengan cara ta’ridh (sindiran atau tidak sharih). Pendapat yang benar adalah boleh.

q Jika wanita itu sedang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka boleh dilamar ketika wanita itu masih menjalani masa ‘iddah, namun tidak dengan cara sharih (tegas)[2]. Hikmah dilarang melamar secara sharih adalah karena memperhatikan kesedihan istri dan berkabungnya, sekaligus menjaga perasaan keluarga si mayit dan ahli warisnya.

Dalil masalah ini adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاء أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلاَّ أَن تَقُولُواْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا وَلاَ تَعْزِمُواْ عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىَ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

       “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[3] dengan sindiran[4] atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Tetapi, janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf[5]. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al Baqarah: 235)

      Yang dimaksud sindiran adalah seseorang menyebutkan sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang tidak disebutnya. Contoh sindiran “Saya ingin menikah,” atau mengatakan “Saya senang sekali, jika Allah memudahkan kepada saya mendapatkan wanita shalihah,” dsb. Termasuk ke dalam ta’ridh juga adalah memberikan hadiah kepada wanita yang menjalani masa iddah ini. Demikian juga termasuk ke dalam ta'ridh adalah seseorang memuji dirinya dan menyebutkan keturunannya secara sindiran untuk menikah.

      Sukainah bintu Hanzhalah pernah berkata: Muhammad bin ‘Ali pernah meminta izin menemuiku, sedangkan aku belum selesai dari masa ‘iddah karena meninggalnya suamiku. Dia (Muhammad bin ‘Ali bin Husain) berkata, “Kamukan sudah tahu adanya hubungan kerabat antara saya dengan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam, adanya hubungan kerabat antara saya dengan ‘Ali dan kedudukan saya di kalangan orang-orang ‘Arab.” Sukainah pun berkata, “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Ja’far, sesungguhnya engkau adalah laki-laki yang dijadikan teladan, mengapa engkau melamarku dalam masa ‘iddahku?” Muhammad bin ‘Ali berkata, “Saya hanya memberitahukan kamu adanya hubungan kerabat antara saya dengan Rasulullah shallalllahu 'alaihi wa sallam dan dengan ‘Ali (yakni tidak melamar secara sharih/tegas).”

      Kesimpulannya adalah bahwa menyebutkan secara sharih (tegas) melamar adalah haram untuk semua wanita yang masih menjalani masa ‘iddah, sedangkan menyebutkan secara ta’ridh (sindiran) adalah mubah baik kepada wanita yang ditalaq ba’in maupun wanita yang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami selain kepada wanita yang menjalani ‘iddah talaq raj’iy. Sedangkan wanita yang ditalaq raj’iy haram dilamar baik secara sharih maupun ta’ridh karena ia masih berstatus istri orang lain.

q Contoh melamar secara sharih adalah mengatakan, “Saya ingin menikahi anda,” sedangkan secara ta’ridh (sindiran), misalnya mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” Dan bagi wanita boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan tashrih (terang-terangan).

q Bagaimana jika ada seseorang yang melamar secara tegas kepada wanita yang masih menjalani masa ‘iddah meskipun ‘akadnya dilakukan setelah selesai ‘iddahnya?

      Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Malik berpendapat bahwa ia harus dipisahkan, baik sudah berkumpul (berkhalwat)  maupun belum. Namun menurut Imam Syafi’i bahwa ‘akadnya sah, meskipun ia telah mengerjakan yang jelas-jelas terlarang. Tetapi mereka sepakat bahwa keduanya harus dipisahkan  jika seandainya ‘akad dilakukan dalam masa ‘iddah dan sudah berkumpul (berkhalwat).

q Kemudian apakah setelah selesai iddahnya wanita itu halal atau tidak? Imam Malik, Al Laits dan Al Auzaa’iy berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah tidak halal dinikahi. Namun jumhur ulama berpendapat bahwa setelah selesai ‘iddah halal dinikahinya jika ia mau.

q Imam Ibnul Qayyim berkata, “Dan dibolehkan mengkhitbah (melamar) wanita yang  menjalani masa ‘iddah dengan tegas ataupun sindiran bagi laki-laki yang mentalaqnya (suaminya) dengan talaq baa’in; kurang dari tiga kali, karena boleh baginya menikahi wanita di masa ‘iddahnya.”

      Syaikh Taqiyyuddin mengatakan, “Dibolehkan secara sharih (tegas) dan sindiran bagi orang yang karenanya iddah dilakukan  (suaminya), jika ia termasuk orang yang halal menikahinya pada masa ‘iddah.”



Melamar wanita setelah dilamar oleh yang lain

Diharamkan melamar wanita yang sudah dilamar oleh saudaranya apabila wanita itu sudah menerima lamarannya, sampai saudaranya mengizinkan atau menolaknya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلىَ خِطْبَةِ أََخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يأذَنَ لَهُ

“Tidak boleh salah seorang di antara kamu melamar wanita yang sudah dilamar saudaranya[6], sampai pelamar sebelum dia meninggalkan atau mengizinkannya.”

Khitbah (melamar) setelah dilamar oleh orang lain menjadi boleh apabila:

a.          Si wanita menyatakan menolak ketika dilamar,

b.          Wanita tersebut menerima namun dengan sindiran seperti mengatakan, “Aku tidak benci kepadamu,"

c.          Pelamar kedua tidak mengetahui sudah dilamar oleh yang pertama,

d.          Pelamar pertama ditolak, atau

e.          Pelamar pertama mengizinkan kepada pelamar kedua.

Dengan demikian, jika si wanita tidak menyatakan secara tegas menerima, maka masih bisa dilamar oleh yang lain. Hal ini berdasarkan hadits Fathimah bintu Qais, di mana dirinya pernah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, bahkan Beliau menjodohkannya dengan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu.

Tirmidzi menukilkan dari Imam Syaafi’i tentang hadits larangan melamar wanita yang sudah dilamar oleh yang lain, “Apabila wanita dilamar, lalu ia ridha dan cenderung kepada pelamarnya, maka tidak boleh seorang pun melamarnya setelah dilamar, namun jika tidak diketahui keridhaannya dan kecenderungannya, maka tidak mengapa dilamar.”

Faedah:

Apabila pelamar kedua melamar setelah dilamar oleh yang pertama dan yang pertama sudah diterima, lalu yang kedua melakukan ‘akad nikah, maka menurut jumhur ulama adalah sah namun ia berdosa, karena larangan tersebut kembalinya kepada khitbah (lamaran), bukan kepada syarat sahnya nikah, maka tidak dibatalkan. Sedangkan menurut Dawud Azh Zhaahiriy akadnya dibatalkan baik sudah berkumpul bersama atau belum.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Fiqhus Sunnah (S. Sabiq), Al Wajiz (Abdul 'Azhim bin Badawi), Al Fiqhul Muyassar (Beberapa ulama), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Minhajul Muslim (Abu Bakr Al Jaza'iriy), dll.


[1] Contoh secara sharih adalah mengatakan, “Saya ingin menikahi anda.”
[2] Contoh tidak sharih adalah mengatakan, “Kamu masih sendiri yah?” dan bagi wanita boleh menjawab dengan ta’ridh (sindiran) juga, tidak boleh dengan tashrih (terang-terangan).
[3] Yakni yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[4] Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[5] Perkataan sindiran yang baik.
[6] Saudaranya di sini adalah sesama muslim. Sehingga jika non muslim yang melamar maka tidak haram melamar wanita itu. Namun ada yang berpendapat, bahwa mafhum kata "saudara" hanyalah karena melihat ghalib (pada umumnya) sehingga tidak berlaku.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE