Latest Products

Tampilkan postingan dengan label hadist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadist. Tampilkan semua postingan
ORANG YANG TAK TERSENTUH API NERAKA !

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang Haram baginya tersentuh api neraka?" Para sahabat berkata, "Mau, wahai Rasulullah!"
Beliau menjawab: "( yang Haram tersentuh api neraka adalah) orang yang Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl." (HR. At-Tirmidzi & Ibnu Hibban, dishahihkan Al-Albani).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ؟, قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ: ” كُلُّ هَيِّنٍ لَيِّنٍ قَرِيبٍ سَهْلٍ”
انظر صَحِيح الْجَامِع: 3135 , صَحِيح التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيب: 1747

1. Hayyin
Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin. Tidak labil dan gampang marah, penuh pertimbangan. Tidak mudah memaki, melaknat serta teduh jiwanya.

2. Layyin
Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata atau bersikap. Tidak kasar, tidak semaunya sendiri. Tidak galak, tidak suka memarahi orang yang berbeda pendapat dengannya. Tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia.

3. Qarib
Akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan bagi orang yang diajak bicara. Wajah yang berseri-seri dan murah senyum jika bertemu serta selalu menebar salam.

4. Sahl
Orang yang tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan tidak membuat orang lain lari serta menghindar.
Inilah BINGKAI AKHLAK YANG MULIA !
Semoga Bermanfaat ! Baarakallahufiykum.
Bismillah


ilmu mushtholah hadits adalah ilmu tentang pokok pokok dan kaidah kaidah yang dengannya diketahui sanad dan matan dari sisi diterima atau ditolak.

tema ilmu ini adalah tentang sanad dan matan untuk diketahui apakah bisa diterima atau ditolak.

Buahnya adalah membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang tidak shahih.

Makna Hadits:
Hadits adalah setiap yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa ucapan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat.
maknanya sama dengan khobar.

Makna Atsar
Atsar adalah yang disandarkan kepada para shahabat dan tabiin berupa ucapan atau perbuatan. Dan terkadang digunakan juga untuk makna hadits.

sanad atau isnad.
Adalah rantai perawi yang menyampaikan kepada matan.
adapun isnad juga mempunyai makna menyandarkan hadits kepada yang mengucapkannya secara musnad.

Matan adalah penghujung sanad berupa ucapan, baik ucapan nabi ataupun yang lainnya.

Musnad
Ada beberapa makna:
1. Kitab yang mengumpulkan hadits sesuai nama shahabat yang meriwayatkannya. seperti musnad Ahmad dll.
2. Hadits yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam.
3. Semakna dengan sanad.  

Muhadits
Adalah orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits secara riwayat dan pemahaman. Ia memiliki pengetahuan yang luas tentang riwayat dan keadaan perawi.

Al Hafidz
Derajat yang lebih tinggi dari muhaddits. Sebagian ulama mengatakan bahwa syarat di sebut Al Hafidz adalah apabila hafal 100 ribu hadits.


Saya ingin minta bantuan untuk menginformasikan tentang hadits atau riwayat bahwa NabiShallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam pernah bersabda tentang jihad al-nafs yang merupakan jihad akbar. Sedangkan jihad berperang adalah jihad ashghar. Ada orang yang menolak riwayat itu karena (katanya) sama sekali bukan hadits Nabi dan bisa menyebabkan umat Islam meremehkan jihad perang. Benarkah pendapat ini?
(Thariq Husain di bumi Allah)
Jawab:
Hadits anda riwayat yang anda tanyakan bunyinya demikian:
“Kita baru pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu.”
Apa yang disangka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wasallam ini beredar luas di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan para penganut aliran-aliran tasawuf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan:

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu, ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Hak muslim atas muslim yang lain ada enam. Dikatakan, "Apa yang 6 itu ya Rasulullaah?"
Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apabila engkau bertemu dengan saudara muslim yang lain, maka ucapkanlah salam kepadanya;
Apabila ia mengundangmu, maka penuhilah undangannya;
Apabila ia meminta nasihat kepadamu maka berikanlah nasihat kepadanya;
Apabila ia bersin dan mengucapkan alhamdulillah, maka ucapkanlah yarhamukallah;
Apabila ia sakit maka tengoklah;
Apabila ia meninggal dunia maka hantarkanlah sampai ke kuburnya."

Muhammad Ali Ishmah

عن أبي سعيدٍ الخدريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: كَانَ فِيْمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ، فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ، فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ اِنْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ فِيْهِ مَلآئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلآئِكَةُ الْعَذَابِ. فَقَالَتْ مَلآئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَقَالَتْ مَلآئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُوْرَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوْهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيْسُوْا مَا بَيْنَ اْلأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوْا فَوَجَدُوْهُ أَدْنَى إِلَى اْلأَرْضِ الَّتِى أَرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلآئِكَةُ الرَّحْمَةِ. ﴿متفق عليه﴾
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Dulu sebelum kalian ada seorang laki-laki yang membunuh sembilan puluh sembilan orang, hingga ia bertanya tentang orang yang alim di kalangan penduduk bumi. Mereka menunjuk kepada seorang rahib (ahli ibadah), kemudian orang tersebut mendatanginya dan berkata bahwa ia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat? Rahib tadi berkata: "Tidak." Orang itu malah membunuhnya, sehingga genap menjadi seratus orang. Kemudian ia bertanya tentang penduduk bumi yang paling alim. Maka ditunjukkan kepadanya seorang alim. Ia berkata kepadanya bahwa ia telah membunuh seratus orang. Apakah masih ada kesempatan baginya untuk bertaubat? Orang alim tersebut menjawab: "Ya! Dan siapa yang bisa menghalangi antaramu dengan taubat. Pergilah ke negeri ini dan itu, karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Ta'ala. Beribadahlah bersama mereka, dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang jelek." Kemudian orang itu pergi tapi di tengah-tengah perjalanan ia meninggal. Sehingga malaikat rahmat dan malaikat adzab saling berselisih tentangnya. Malaikat rahmat berkata: "Dia datang dalam keadaan bertaubat, menghadap Allah." Malaikat adzab berkata: "Dia belum beramal shalih sama sekali." Kemudian datanglah kepada kedua malaikat itu seorang malaikat dalam wujud manusia. Mereka (kedua malaikat itu) menjadikannya sebagai pemutus urusan mereka. Malaikat itu berkata: "Ukurlah antara dua negeri tersebut. Mana yang lebih dekat (jaraknya dengan kedua negeri itu) maka itulah lebih berhak." Mereka kemudian mengukurnya. Ternyata mereka dapati bahwa ia (orang yang mati itu) lebih dekat ke negeri yang baik. Maka malaikat rahmat mengambilnya. (Bukhari dan Muslim)

Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Imam Bukhari dalam Fathul Bari, Kitabul Anbiya', bab Maa dzukira 'an Bani Israil 6/373.
2. Imam Muslim dalam Syarah Imam Nawawi, Kitabut Taubah, bab Qabulu qatil walau katsura qatluhu, juz 17 hal. 82, dan ini dengan lafadz Muslim.
3. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitabul Diyat (21) Hadits ke 2622, bab Lil qatilil mukmin taubah?
4. Imam Ahmad dalam Musnad-nya 3/20, 42.

Syarah Hadits
Dari hadits ini, kita dapat memetik beberapa pelajaran, yaitu:
Pertama: Hadits ini menerangkan tentang kisah-kisah umat yang terdahulu dari kalangan Bani Israil. Menanggapi kisah-kisah ini ada tiga hukum untuk mensikapinya:
(a) Syariat telah datang untuk membenarkannya. Maka jika ini terjadi, khabar-khabar ini harus kita benarkan dan kita yakini.
(b) Syariat datang untuk mendustakannya. Contohnya: keyakinan orang Nashrani bahwa Allah adalah Al-Masih Putera Maryam, atau keyakinan orang Yahudi bahwa 'Uzair adalah anak Allah, dll.
(c) Syariat tidak menerangkan kedustaannya dan kebenarannya. Sedangkan riwayat di atas adalah riwayat yang dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua: Hadits ini menerangkan tentang kapan waktunya seseorang untuk bertaubat.
Seseorang ingin bertaubat apabila ia telah merasa sakit karena dosa yang ia lakukan di dalam hatinya. Hal ini karena seringkali orang tahu bahwa yang ia lakukan adalah perbuatan dosa, akan tetapi ia belum merasakan takut kepada Allah dari akibat dosa yang telah ia lakukan. Akan tetapi apabila iman seseorang itu naik atau bertambah, maka ia akan merasakan penyesalan akan dosa yang ia lakukan. Contohnya adalah orang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang ini. Ketika di hatinya mulai dihinggapi perasaan bersalah, segera ia ingin bertaubat yang diwujudkannya dengan bertanya kepada orang-orang tentang taubat.
Ketiga: Hadits ini menunjukkan bahaya orang yang berbicara dan beramal tentang agama tanpa ilmu. Dan ini sesuai dengan aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu al-ilmu qabla al-qaul wal amal (ilmu itu sebelum perkataan dan amalan). Kaidah ini diambil dari firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ﴿محمد: ١٩﴾
"Ketahuilah, tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi kaum mukminin serta mukminat." (Muhammad: 19)
Dalam sebuah riwayat dari Sufyan bin Uyainah bahwa ia ditanya tentang keutamaan ilmu, maka ia menjawab: "Apakah engkau tidak mendengar firman Allah yang berbunyi (kemudian beliau membaca ayat ini, Al-Hadid: 20, At-Taghabun: 14 dan Al-Anfal: 41). Setelah itu, beliau berkata lagi: "Kemudian barulah Allah menyuruh beramal setelah itu." (Jami'ul Ahkamil Qur`an jilid 8, Tafsir Surat Muhammad ayat 19 oleh Imam Al-Qurthubi). Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitabnya Al-Ushul Ats-Tsalatsah: "Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya Allah mewajibkan atas kita untuk mempelajari empat perkara: yang pertama, ilmu... dst" Demikian juga dengan Imam Bukhari rahimahullah, sebagaimana yang dikutip dalam kitab di atas. Beliau berkata yang demikian dalam Shahih-nya, Bab al-ilmu qabla al-qaul wal amal. Dengan dalil firman Allah Ta'ala (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai (perintah) dengan ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Jelas diterangkan dalam ayat di atas bahwa sebelum kita berkata, kita harus tahu terlebih dahulu tentang apa yang akan kita katakan. Demikian juga sebelum kita beramal, kita harus tahu terlebih dahulu tentang apa yang akan kita amalkan. Sebagai contoh, ayat di atas menerangkan bahwa sebelum kita mohon ampun kepada Allah, kita harus tahu bahwa Allah itu Maha Pengampun. Setiap orang akan mohon ampun kepada Allah karena tahu bahwa Allah adalah Maha Pengampun.
Apabila kita melihat syariat, banyak sekali amalan yang harus dilakukan dengan ilmu. Contohnya, shalat jenazah. Orang yang hendak melaksanakan shalat jenazah harus mengetahui lebih dahulu tata caranya. Sebab, apabila tidak maka ia akan menyamakan cara shalat jenazah dengan shalat-shalat biasa yang kita lakukan. Kasus seperti ini pernah terjadi dan kami dengar langsung dari saksinya. Diceritakan bahwa ketika sedang melaksanakan shalat jenazah, imam dan makmumnya melakukan ruku' dan sujud, sebagaimana shalat biasa. Yang demikian ini adalah bukti betapa pentingnya ilmu sebelum berbicara dan beramal.
Selain dalil tentang wajibnya berilmu sebelum berkata dan beramal, ada juga dalil tentang larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Yaitu firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ ﴿الأعراف: ٣٣﴾
"Katakanlah: Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengatakan terhadap Allah apa-apa yang kamu tidak ketahui." (Al-A'raf: 33)
Dalam ayat di atas, Allah membagi perkara-perkara yang haram dalam empat tingkatan, yaitu: yang paling ringan adalah perbuatan keji. Kemudian yang lebih keras lagi keharamannya adalah berbuat maksiat dan kedhaliman (aniaya). Yang ketiga setelah itu adalah perbuatan syirik. Dan yang paling tinggi tingkat keharamannya adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini bersifat umum, apakah itu bersangkut paut dengan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya ataupun syariat-Nya. (Aqidah Wasithiyah, hal. 56)
Kembali pada hadits di atas, kita melihat pendeta (rahib) itu menghukumi perbuatan orang tadi tanpa ilmu. Pendeta itu berbicara hanya dengan "perasaan"nya saja, bukan berdasarkan ilmu, karena jika ia berilmu tentu ia tahu bahwa Allah itu Maha Penerima Taubat. Orang yang tidak mengetahui, atau orang yang sedang menuntut ilmu haruslah terbiasa dengan berkata: "Saya tidak tahu." Karena sikap ini adalah yang paling selamat apabila kita tidak mengetahui sesuatu, bukannya mencari-cari dengan perasaan dan akal pikiran kita sendiri. Telah dicontohkan bagaimana para Salafus Shalih "saling menolak" memberi fatwa dan melempar pada yang lain hingga si penanya kembali pada orang yang pertama. Cobalah dengar apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman bin Abi Laila (seorang tabi'in), dia berkata:
"Aku mendapati dalam masjid ini seratus duapuluh orang shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah seseorang ditanya tentang suatu hadits atau suatu fatwa kecuali ia sangat ingin kalau temannya yang menjawabnya. Kemudian masa terus berlalu sampai pada suatu kaum yang mengaku-aku bahwa dirinya memiliki ilmu. Mereka berlomba-lomba untuk menjawab bila ada orang yang bertanya tentang sesuatu yang seandainya pertanyaan tersebut ditanyakan pada amirul mukminin Umar bin Khattab radhiallahu anhu tentulah beliau mengumpulkan para ahli Badr dan bermusyawarah dengan mereka." (Mukhtashar Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).
Lantas bagaimana dengan keadaan sekarang ini, dimana kita jumpai banyak orang mengaku dirinya ulama, mengaku dirinya fuqaha' (ahli fiqih) hanya dengan mempelajari beberapa kitab fiqih saja, atau bahkan mengaku sebagai mujtahid mutlak.
Kita lihat kenyataan sekarang ini, seorang ulama yang faqih dikatakan sebagai ulama bodoh, tolol dan tidak mengerti waqi' (realitas), sedangkan di sisi lain orang yang menghujat sunnah seperti Dr. Yusuf Qardhawi (dan Muhammad Ghazali) dikatakan ulama!
Kembali pada hadits di atas, pendeta yang berbicara tanpa ilmu itu akhirnya dibunuh oleh orang tadi dan di akhirat ia akan mendapat siksa atas perbuatannya.
Keempat: Keutamaan seorang alim walaupun lebih sedikit amalnya dari seorang 'abid (ahli ibadah) yang banyak ibadahnya.
Berbicara tentang masalah ini, marilah kita simak cerita yang dibawakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At-Tahmid:
"Al-Umari -seorang ahli ibadah- menulis surat kepada Imam Malik rahimahullah yang di dalamnya menceritakan tentang dirinya yang menyendiri dan bekerja, serta tidak mau mengikuti atau berkumpul bersama beliau (Imam Malik) untuk menuntut ilmu. Menanggapi surat ini Imam Malik membalasnya dengan mengatakan: 'Sesungguhnya Allah membagi amalan-amalan sebagaimana rizqi. Kadang-kadang ada yang dibukakan baginya dalam shalat dan dalam puasa. Ada yang dalam sedekah dan tidak dibukakan dalam puasa. Dan ada pula yang dalam jihad dan tidak dalam shalat. Adapun mempelajari ilmu dan menyebarkannya merupakan sebaik-baik amalan kebaikan. Dan aku ridha dengan apa yang telah dibukakan Allah bagiku. Aku berharap agar kita berada di atas kebaikan. Dan wajib bagi kita untuk ridha dengan apa yang diberikan kepadanya. Wassalam."
Keutamaan seorang yang alim (ulama) dapat dilihat pula dari dalil-dalil berikut ini:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ ﴿الزمر: ٩﴾
"Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ﴿فاطر: ٢٨﴾
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hamba-Nya adalah para ulama." (Fathir: 28)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al-Qur`an yang senada yang tidak mungkin kami cantumkan semuanya di dalam tulisan ini.
Di samping dalil-dalil dari Al-Qur'an terdapat pula dalil-dalil dari Al-Hadits seperti berikut ini:
عَنْ أَبي أمامةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: ذَكَرَ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاَنِ، أَحَدُهُمَا عَابِدٌ وَاْلآخَرُ عَالِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ((فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ)) ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةِ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحَوْتِ لَيُصَلُّوْنَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسِ الْخَيْرَ)) ﴿رواه الترمذي (٥/٢٩٨٥) والدارمي (١/٨٨) وصححه الألباني في المشكاة ١/٧٥﴾
"Dari Abu Umamah radhiallahu anhu, ia berkata: Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang dua orang: seorang ahli ibadah dan orang alim. Lantas beliau bersabda: 'Keutamaan seorang yang alim dengan seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku (Rasulullah) dengan yang paling rendah di antara kalian (para shahabat).' Kemudian beliau bersabda: 'Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya dan penghuni langit dan bumi sampai semut dalam sarangnya serta ikan pun ikut mendoakan para pengajar kebaikan kepada manusia." [HR. Tirmidzi (5/2985), Darimi (1/88), dan dishahihkan oleh Albani dalam Al-Misykah (1/75)]
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ﴿رواه الترمذي (٢٨٦٦) وابن ماجه ١/٨٠ وأبو داود ٢/٢١٧ وحسنه الألباني في المشكاة ١/٧٤، انظر صحيح ابن حبان ١/٤٦﴾
"Keutamaan orang alim dari seorang yang 'abid adalah seperti keutamaan bulan pada malam bulan purnama dari seluruh bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi. Dan para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya (mewarisinya) maka berarti ia telah mengambil dengan bagian yang besar." [HR. Tirmidzi (2966), Ibnu Majah (1/80), Abu Dawud (2/217), dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah (1/74). Lihat Shahih Ibnu Hibban (1/46)]
عن سهلِ بنِ سعدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لِعليٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ لَكَ حُمُرُ النَّعَمِ ﴿رواه البخاري ٥/٢٣ ومسلم ٢/١٢٢ وأحمد ٥/٢٣٨،٣٣٣﴾
"Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu anhu bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Ali radhiallahu anhu: Sungguh jika Allah memberi hidayah kepada satu orang melaluimu maka itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki unta-unta merah." [HR. Bukhari (5/23), Muslim 1/122, Ahmad 5/238,333]
Hasan Al-Bashri berkata: "Kalaulah tidak karena para ulama tentu manusia menjadi seperti hewan."
Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata: "Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah adalah khashyah (rasa takut), menuntutnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah, menyerahkannya kepada ahlinya adalah sebagai taqarrub. Dia (ilmu) teman dekat dalam kesendirian dan shahabat dalam kesunyian."
Kelima: Wajib bagi orang yang merasa sakit dengan perbuatan maksiatnya untuk menanyakan obatnya kepada para ulama, sebagaimana firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿الأنبياء: ٧﴾
"Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahuinya." (Al-Anbiya': 7)
Keenam: Bahwa bagi orang yang ingin beristiqamah di atas agama Allah maka dia harus meninggalkan teman-temannya yang jelek. Dan banyak di kalangan orang-orang yang telah bertaubat dan ingin mendakwahi teman-temannya yang dulu tetapi nyatanya malah bergabung dengan mereka. Oleh karena itu, salah satu cara menasehati teman-temannya adalah: hendaknya ia pergi bersama beberapa orang yang baik. Karena jika ia sendirian ketika mendakwahi teman-temannya dahulu maka mereka akan selalu mengingatkannya tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Akan tetapi apabila ia pergi bersama beberapa orang, mereka tidak akan mengungkit-ungkit perbuatan kita yang telah lalu karena malu. Perlu diingat bahwa tugas kita adalah mengajak saja. Apakah mereka akan menerima ajakan kita atau tidak bukanlah tanggung jawab kita.
Ketujuh: Bahayanya shahabat yang jelek. Dan ini dicontohkan dengan apa yang terjadi pada Abu Thalib ketika wafatnya. Dimana dikisahkan dalam riwayat shahih (Bukhari-Muslim) bahwa ketika Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya dan di sisinya ada Abdullah bin Al Umayyah. Rasulullah bersabda:
يَا عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله كَلِمَةٌ أَحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ
"Wahai paman, ucapkanlah laa ilaha illallah, kalimat yang aku akan bela engkau dengannya di sisi Allah."
Tapi kedua temannya mengatakan: "Apakah engkau benci dengan agama nenek moyangmu?" Demikianlah, Abu Thalib akhirnya wafat dalam keadaan kafir karena bujukan teman-temannya yang jelek itu.
Kedelapan: Pintu taubat itu terbuka, sebagaimana tersebut dalam hadits:
عن أبي موسَى الأشعريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن النّبيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئِ النَّهَارِ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئِ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا ﴿رواه مسلم (٢٧٦٠) وأحمد ٤/٣٩٥،٤٠٤﴾
"Dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: 'Sesungguhnya Allah azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan di waktu siangnya. Dan Allah membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan di waktu malam, sampai matahari terbit dari Barat." [HR. Muslim (2760) dan Ahmad (4/390,404)]
عن أبي عبدِ الرحمَن عبدِ اللهِ بنِ عمرَ بنِ الخطّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ ﴿رواه الترمذي (٣٧٦٧) وقال: حديث حسن وأحمد وغيره، انظر تحفة الأحوذي ٩/٣٦٥﴾
"Dari Abu Abdur Rahman Abdullah bin Umar bin Khathab radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tetap menerima taubat hambanya sebelum nyawanya sampai di tenggorokan (sakaratul maut)." [HR. Tirmidzi (3767): hadits hasan, Ahmad dll, lihat Tuhfatul Ahwadzi 9/365]
Kesembilan: Bagi para dai, jangan berputus asa untuk menunggu taubatnya seseorang. Karena hidayah ada di tangan Allah, bukan di tangan kita. Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, adapun hasilnya ditentukan oleh Allah. Ini harus selalu diingat karena seringkali seorang dai begitu bersemangat berdakwah di suatu tempat hingga melupakan yang lainnya, tetapi hasilnya justru di tempat yang ia lalaikan itu banyak yang menjadi baik. Allah berfirman:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ﴿القصص: ٥٦﴾
"Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki." (Al-Qashash: 56)
Dakwah ini (dakwah Ahlus Sunnah wal Jama'ah) adalah dakwah untuk menyampaikan kebenaran, bukan dakwah untuk mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya hingga tercampur di dalamnya Mu'tazilah, Asy-'Ariyah, Sufiyah, 'Aqlaniyah dll. Dakwah ini bukan hanya untuk pemuda tetapi juga kepada yang tua, bahkan kepada orang yang hampir mati sekalipun. Karena sering kita dengan ucapan, "Kita lebih mengutamakan yang muda-muda karena mereka adalah generasi masa depan ummat ini". Akibat ucapan ini, mereka kurang perhatian kepada yang tua. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam berdakwah menyebarkan kalimat tauhid ini yaitu Laa ilaaha illallah kepada siapa saja: tua atau muda, miskin atau kaya, yang masih hidup atau yang hampir mati, budak atau raja. Oleh karena itu, seorang dai haruslah bersabar dalam dakwah ini. Perjalanan dakwah ini panjang, penuh riak dan duri. Kalau keberhasilan itu tidak kita dapati sekarang, Insya Allah bisa berhasil di tangan anak cucu dan generasi penerus kita.
Kesepuluh: Bahwa amalan-amalan itu dilihat dari yang terakhirnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَوَاللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا ﴿رواه البخاري ٦/٣٥٠- الفتح (٣٢٠٨) ومسلم (٢٦٤٣)﴾
"Demi Allah yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya salah seorang kalian beramal dengan amalan ahli surga hingga tidak ada (jarak) antara ia dengan surga tersebut kecuali sehasta. Lalu ia didahului oleh Al-Kitab (takdir), kemudian ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka akhirnya ia masuk ke dalamnya. Dan salah seorang kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada (jarak) antara ia dengan neraka kecuali sehasta. Lalu ia didahului oleh Al-Kitab, kemudian ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka akhirnya ia masuk ke dalamnya." [HR. Bukhari (6/350), Muslim (2643)]
Kesebelas: Berusaha sekuat tenaga untuk bertemu dengan orang-orang yang shalih, dan itu menunjukkan kebenaran taubatnya.
Kedua belas: Boleh mengganti kata "Aku" dalam menceritakan tentang dirinya dengan kata "seseorang". Yaitu dalam hadits si pembunuh menyatakan, "Ada seseorang telah membunuh, apakah ada kesempatan baginya untuk bertaubat?"
Ketiga belas: Berjalan di jalan ketaatan itu memberikan pahala. Di sini si pembunuh belum duduk dengan orang-orang yang shalih tetapi ia sudah mendapat pahala. Apalagi yang duduk dengan orang-orang yang shalih.
Keempat belas: Allah menyukai taubat hamba-Nya, bagaimanapun banyak dosanya:
عن أنسِ بنِ مالكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ! إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي، غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ أُبَالِي. يَا ابْنَ آدَمَ! لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِي. يَا ابْنَ آدَمَ! لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِي وَلاَ تُشْرِكُوْا بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً ﴿رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح، وأخرجه أحمد والدارمي عن أبي ذر. انظر تحفة الأحوذي ٩/٣٦٨ (٣٧٧٢) والصحيحة ١/٢٥٠ (١٢٧). حديث صحيح بشواهده كما في ((صحيح الأذكار)) ١٢٣٤/٩٦٨﴾
"Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai anak Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku dan berharap kepada-Ku. Niscaya Aku ampuni dosa-dosa yang ada padamu dan aku tidak peduli. Hai anak Adam, kalau dosa-dosamu mencapai setinggi langit kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Hai anak Adam, kalau engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan Aku dalam keadaan tidak berbuat syirik. Niscaya akan Aku ganti dengan ampunan sepenuh itu pula.'" [HR. Tirmidzi dan beliau berkata: hadits ini hasan shahih. Juga oleh Ahmad dan Darimi dari Abu Dzar. Lihat Tuhfatul Ahwadzi (9/368), As-Shahihah 1/250 no. 127. Hadits ini SHAHIH, lihat Shahih Al-Adzkar]
Kelima belas: Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa malaikat itu sanggup menyerupakan dirinya seperti manusia. Hal ini bisa juga dilihat dengan kisah Jibril yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk manusia (HR. Muslim dari Umar bin Khaththab radhiallahu anhu)
Keenam belas: Orang yang membunuh dengan sengaja, apabila dia bertaubat, maka sah taubatnya.
Imam Al-Malawi berkata: "Ini adalah madzhab ahli ilmu dan ijma' mereka tentang sahnya taubat pembunuh yang sengaja membunuh. Dan tidak ada yang menentang mereka kecuali Ibnu Abbas. Adapun apa-apa yang dinukil oleh sebagian Salaf bahwa tentang perkara ini masih ada perselisihan. Maka yang dimaksud adalah ancaman terhadap sebab-sebab taubat tersebut, bukan keyakinan batalnya taubat pembunuh tersebut. Jika dikatakan hadits ini adalah syariat umat sebelum kita dan bahwa berhujjah dengannya itu masih diperselisihkan. Maka hal itu bisa terjadi jika syariat kita (Islam) belum menyepakati dan menyetujuinya. Akan tetapi, jika syariat kita telah mensepakatinya, maka hal itu menjadi syariat bagi kita juga, tanpa perlu diragukan lagi. Dalil yang menyepakati hal ini adalah firman Allah:
وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ ... إِلاَّ مَنْ تَابَ ﴿الفرقان: ٦٨-٧٠﴾
"Dan orang-orang yang tidak menyeru (menyembah) yang lain beserta Allah dan tidak membunuh...kecuali yang bertaubat." (Al-Furqan: 68-70)
Adapun firman Allah:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا ﴿النساء: ٩٣﴾
"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam dan ia kekal di dalamnya." (An-Nisa: 93)
Maka yang benar dalam makna "balasannya adalah jahannam" ialah: kadang-kadang dibalas dengannya (jahannam) dan kadang dibalas dengan yang lainnya. Dan kadang pula tidak dibalas sama sekali, bahkan dimaafkan. Jika ia membunuh dengan sengaja dan menganggap itu adalah halal tanpa dasar kebenaran dan alasan, maka dia telah kafir atau murtad, kekal di jahannam secara ijma'. Akan tetapi, jika ia menganggap itu tidak halal bahkan meyakini keharamannya, maka dia telah maksiat, fasik, dan berdosa besar. Dan balasannya ia pantas untuk diadzab dalam neraka jahannam. Namun, karena keutamaan Allah Ta'ala, dikabarkan bahwa Dia tidak mengekalkan orang yang mati dalam keadaan bertauhid di dalam neraka. Bahkan, bisa saja dia dimaafkan hingga tidak masuk neraka. Atau bisa juga dia tidak dimaafkan sehingga mengalami adzab, sebagaimana seluruh orang-orang bertauhid yang berdosa, hingga akhirnya dia dikeluarkan dari neraka lalu masuk surga. Demikianlah pendapat yang benar dalam memahami ayat ini. Ia tidak dihukum dengan hukum yang khusus dan tidak terdapat kabar di dalamnya bahwa ia kekal dalam neraka jahannam. Hanya saja, di dalam ayat tersebut diberitakan bahwa balasannya ia berhak dihukum dalam neraka jahannam.
Wallahu a'lam.

Maraji':
1. Al-Qur'anul Karim
2. Fathul Bari oleh Ibnu Hajar
3. Shahih Muslim, Syarah Imam Nawawi
4. Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani
5. Misykatul Mashabih dengan tahqiq Syaikh Al-Albani
6. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi
7. Tafsir Ibnu Katsir
8. Tuhfatul Ahwadzi, Syarah Imam Tirmidzi
9. Tafsir Al-Qurthubi
10. Al-Ushul Ats-Tsalatsah oleh Muhammad bin Abdul Wahhab
11. Syarh Aqidah Wasithiyyah, tahqiq Khalil Harras
12. Tanbihat Lathifah oleh Abdur Rahman As-Sa'di
13. Mukhtashar Minhajul Qashidin oleh Zuhair Syawis
14. Nuzhatul Muttaqin, Syarah Riyadhus Shalihin
15. Ceramah Dr. Umar Al-'Ied.


Memasuki bulan Sya’ban, yakni termasuk ke dalam bulan-bulan mulia. Banyak kaum muslimin yang menyambutnya dengan beberapa peribadahan, sejak awal (memasuki) bulan ini, dan juga yang terkenal di kalangan kita, yaitu Nishfu Sya’ban. Untuk itu, perlu kami bawakan penjelasan tentang status riwayat-riwayat seputar bulan sya’ban, terutama Nishfu Sya’ban itu sendiri. Bagaimana keterangan para ulama’ dan bagaimana hukumnya?


Riwayat-Riwayat Seputar Nishfu Sya’ban





“Wahai saudaraku! Waspadalah kalian terhadap para pembuat
cerita palsu, yang mengutarakan sebuah hadits kepada kalian, sekalipun tujuannya baik. Sebab untuk mewujudkan suatu kebaikan itu harus benar-benar sah dari Rosulullah. Jika anda telah mengetahui palsunya suatu hadits, maka ketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk syariat sedikit pun, bahkan termasuk wahyu dari syetan yang di bangun diatas hadits palsu.”
1



Banyak riwayat yang beredar di tengah masyarakat berkaiatan dengan bulan Sya’ban, yang berbicara seputar amalan-amalan khusus saat nishfu (pertengahan) Sya’ban, baik berupa sholat, puasa, shadaqah dan sebagainya. Akhirnya hadits-hadits tersebut sangat mayshur dikhalayak ramai. Padahal hadits-hadits yang dimaksud tersebut tidak shohih, menurut para ahlul ilmi. Dari di sinilah kami ingin mengungkap beberapa riwayat tersebut, sehingga terang antara benang putih dengan benang hitam.





  1. Riwayat Ali bin Abi Thalib. Dari Ali bin Abi Thalib, berkata:
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



    “Apabila tiba malam nishfu sya’ban, maka sholatlah pada malam harinya, dan puasalah disiang harinya, karena Alloh turun ke langit dunia disaat tenggelamnya matahari, lalu berfirman:


    “Adakah yang meminta ampun kepada-Ku, lalu Aku akan mengampuninya! adakah yang meminta rizki kepadaKu, lalu Aku akan memberinya rizki! adakah yang sakit lalu Aku akan menyembuhkannya! adakah yang demikian …; adakah yang demikian …? .. sampai terbit fajar.”2



  2. Riwayat Utsman bin Al Mughirah. Dari Utsman bin Mughirah berkata:
    Nabi bersabda:




    “Ajal manusia telah ditetapkan dari bulan sya’ban ke sya’ban berikutnya, sehingga ada seorang yang menikah dan dikaruniai seorang anak, lalu namanya keluar sebagai orang-orang yang akan mati.”3


  3. Riwayat tentang shalat “Al-Fiyyah”
    pada malam nisfhu sya’ban.




    Dinamakan Al-Fiyyah (seribu) karena bacaan sholatnya adalah surat Al-Ikhlas seribu kali dalam seratus rakaat, Pada setiap rakaat membaca Al-Fatihah sekali dan Al-Ikhlas sepuluh kali. Ada pun haditsnya adalah:




    “Wahai Ali. Barangsiapa yang sholat seratus rakaat pada malam nishfu sya’ban dengan membaca surat Al-Fatihah dan “Qul Huwa Allahu Ahad” (surat al-Ikhlas) pada setiap rakaat sepuluh kali, maka Alloh akan memenuhi seluruh kebutuhannya.” Hadits
    ini Maudhu’ (palsu).4


    Benar, terdapat suatu riwayat tentang keutamaan malam nisfhu sya’ban yang dishahihkan oleh sebagian ahlu ilmu. Yaitu sebagai berikut:




    “Alloh -Tabaaraka Wa Taa’la- turun kepada makluk-Nya pada malam nisfhu sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musryik dan orang yang bermusuhan.” Hadits 
    ini shahih.5


    Namun, perlu diingat, hadits ini hanya menunjukkan keutamaan malam nisfhu sya’ban saja, tidak menunjukkan anjuran mengkhususkannya dengan amalan sholat, puasa, khataman Qur`an, maupun amalan ibadah lainnya, lebih-lebih perayaan malam nisfhu sya’ban, seperti yang biasa dilakukan
    masyarakat kita.




    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan dalam kitabnya Iqtidha’  Sirathil Mustaqim (2/138):




    “Adapun mengkhususkan puasa pada hari nisfhu sya’ban, maka tidak ada dasarnya, bahkan harom. Demikian juga menjadikannya sebagai perayaan, dengan membuat makanan dan menampakkan perhiasan, semua ini merupakan perayaan-perayaan bid`ah yang tidak berdasar sama sekali. Termasuk pula berkumpul untuk melakukan shalat Al-fiyyah di masjid-masjid, karena meksanakan sholat sunnah pada waktu, jumlah rokaat, dan bacaannya tertentu, yang tidak disyariatkan maka hukumnya harom.


    Selain itu hadits tentang sholat Al-Fiyyah adalah maudhu’ (palsu) menurut kesepakatan ahlul hadits. Oleh karena itu, tidak boleh menganggap sunah nya sholat Al Fiyyah berdasarkan hadits tersebut. Dan jika tidakdisunnah kan maka harom mengamalkannya.


    Seandainya malam-malam yang mem punyai keutamaan tertentu, disyari`atkan untuk dikhususkan dengan melaku kan sholat, tentunya amalan sholat
    tersebut disyari`atkan pula, untuk dilakukan pada malam i’dhul fithry, idhul adha, dan hari Arafah.”



    Imam An-Nawawi (Salah seorang ulama madzhab syafi’i) berkata dalam Fatawanya hal.26: “Sholat Rajab dan Sya’ban keduanya merupakan bid’ah yang jelek dan mungkar”




    Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz berkata dalam risalahnya At-Tahdhir Mi nal Bida’ hal. 27:




    “Termasuk perkara bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia adalah perayaan malam nishfu sya’ban, atau pengkhususan hari tersebut dengan berpuasa. Semua itu tidak ada dasarnya dalam agama
    Islam. Kalaulah ada, itu hanyalah hadits-hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ahlul ilmi”.



    Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam, ia berkata:




    “Kami tidak menemukan seorang pun dari sahabat kami, tidak pula fuqoha`nya, yang mempedulikan malam nishfu sya`ban, mereka juga tidak acuh terhadap hadits Makhul, dan mereka berpendapat malam nishfu sya`ban tidak lebih utama dibanding malan selainnya.”











    Ibnu Abi Malikah diberitahu bahwa Ziyad An Numairi berkata: “Pahala malam nishfu sya`ban sama dengan pahala lailatul qodar.” Beliau menjawab: “Seandainya saya mendengar sedangkan ditangan saya ada tongkat, tentu saya pukul dia.” Sebab Ziyad adalah tukang cerita.




    Imam Suyuthi berkata:




    “Termasuk perkara yang dibikin oleh para ahlul bid`ah- yang mana mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari`at karena kembali menekuni tradisi orang Majusi, dan menjadikan agamanya barang mainan dan gurauan-adalah menyemarakkan malan nishfu sya`ban, padahal amalan ini tidak pernah diriwayatkan secara shohih dari Rosulullah.


    “Para periwayat hadits yang jujur tidak pernah meriwayatkan adanya sholat di malamnya dan anjuran untuk menyemarakannya. Orang-orang yang membikin amalan tersebut tidak lain, adalah orang yang mempermainkan syari`at Nabi, dan suka kepada agama Majusi, karena api adalah tuhan mereka.


    Pertama kali diselenggarakan pada zaman Al Baromikah, lalu mereka  menyusupkannya ke dalam syari`at Islam, untuk mengelabui rakyat awwam, agar rakyat menyangka amalan tersebut termasuk sunnah. Maksud mereka sebenarnya adalah untuk menyembah api, dan membangkitkan kembali agama mereka. Padahal Majusi merupakan agama yang paling hina. Apabila kaum muslimin melaksanakan sholat, maka mereka rukuk dan sujud kepada api yang dinyalakan.
    Tradisi ini terus berlangsung sepanjang tahun. Kemudian seluruh negeri Islam mengekornya. Selain itu, ketika acara diselenggarakan laki-laki dan perempuan campur baur. Maka wajib bagi pemerintah untuk melarangnya, dan ulama wajib memberi peringatan.
    Mengapa bulan Sya`ban dimuliakan? karena Rosulullah berpuasa di bulan tersebut kecuali beberapa hari saja. Memang ada riwayat dan atsar yang marfu`. Ini sebagai dalil bahwa bulan Sya`ban adalah bulan mulia. Akan tetapi tidak ada dalil tentang amalan sholat secara khusus dan menyemarakkannya sebagaimana syari`at yang telah shohih dalilnya.”
    6


    Imam Qurthubi berkata dalam tafsirnya (16/128):



    “Tentang malam nishfu Sya`ban tidak terdapat satu haditspun yang dapat dijadikan sandaran, baik mengenai keutamaannya atau tentang pembatalan ajal seseorang, maka janganlah kalian mengacuhkannya!”



    Imam Ali bin Ibrohim mengatakan (yang intinya):




    “Para imam masjid menyemarakkan malam nishfu Sya`ban dengan sholat roghoib dan amalan lainnya sekedar untuk menjaring masa, karena mendambakan kepemimpinan. Di situ para tukang cerita meramaikan dengan bualannya. Semua itu jauh dari kebenaran.


    “Namun Alloh Ta`ala berkehendak menampakkan para ulama yang berpegang pada sunnah untuk membantah amalan sholat yang batil ini. Memang amalan ini telah merambah luas sehingga mereka melaksanakan sholat dengan sendau gurau. Sholat ini dihapus secara sempurna diMesir dan Syam pada awal tahun delapan ratusan.”7


    Berkata Syaikhul Islam:



    “Asal semua amalan ini adalah; bahwasanya ibadah yang disyari`atkan secara berulang seiring dengan berulangnya waktu, sehingga menjadi amalan sunnah dan hari raya, telah disyariatkan oleh Alloh. Dan itu
    telah mencukupi bagi orang yang ingin beribadah. Apabila terdapat amalan jama`i yang melampaui syari`at yang telah ditetapkan Alloh tadi, maka menyerupai syari`at Alloh dan sunnah RosulNya. Pasti akan didapati didalamnya kerusakan yang telah disebutkan dimuka.
    Berbeda apabila yang melakukannya hanya seorang atau jama`ah khusus. Maka disini dibedakan antara dilakukan oleh orang banyak secara demonstratif dengan sedikit orang secara sembunyi, dan antara kebiasaan dengan bukan kebiasaan. Seperti itu pula setiap amalan yang pada asalnya disyari`atkan, lalu timbul bid`ah didalamnya lantaran amalan tersebut
    dijadikan amalan kontinyu, sehingga nampaknya hal itu adalah wajib.”
    (hal.180).


Merayakan/Mengamalkan Nishfu Sya’ban dan Ibadah lainnya yang tidak ada contohnya





Dari uraian di muka, dapat kita tarik kesimpulan, sebagai berikut:





  1. Kita harus berhati-hati terhadap beredarnya hadits-hadits yang tidak sah dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk diantaranya riwayat-riwayat tentang nishfu Sya’ban ini, seperti riwayat dari Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Mughirah di muka.

  2. Riwayat tentang shalat Al-Fiyyah adalah Maudhu’ (palsu) dengan kesepakatan ahlul ilmi dan ahlul hadits, sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

  3. Terdapat suatu hadits yang dishahihkan sebagian ulama tentang keutamaan malam nisfhu sya’ban.

  4. Tidak boleh mengkhususkan hari nishfu sya’ban dengan amalan sholat ataupun puasa karena memang tidak ada dasarnya dalam Islam.

  5. Tidak boleh mengadakan perayaan malam nisfhu sya’ban sekalipun kebanyakan orang sering merayakannya, karena Islam tidak pernah mensyari`atkannya.








Catatan Kaki

Catatan Kaki



1

Lihat “Al- Amru Bil Ittiba” hal, 177, Imam
As- Suyuthi.


2

Hadits ini, diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1388), Ibnul Jauzy dalam
“Al -’Ilal” (2/561) dan Al-Baihaqy dalam “Fadhoilul
Auqot” (24), dan “Syu’abul Iman” (no.3822).
Tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abu Bakr bin Muhammad
bin Abi Sabrah, dia adalah seorang rowi yang dho’if (lemah) menurut
kesepakatan para Ulama. Ibnu Rajab berkata di dalam “Latho’iful
Ma’arif” (1423): “Sanadnya dho’if”, bahkan
ahli hadits besar Al-Albani berkata dalam ” Ad -Dhoi’fah
” (2132): ” Hadits ini Maudhu (palsu).”


3

Hadits ini Mursal (Sebuah hadits dikatakan mursal,
artinya sanadnya (terputus) tidak sampai kepada Nabi. -red. vbaitullah),
diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya Jami’ul Bayan (25/109) dari
Aqil bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Utsman bin Mughirah dari Nabi.


Dan diriwaytakan pula oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (no.3839),
tetapi terhenti sampai pada Utsman bin Mughirah saja, tidak sampai
Nabi. Al Hafidh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya Tafsirul
Qur’anil Adhim (4/145): “Hadits mursal, tidak dapat
dijadikan hujjah”


4

Al-Imam Ibnul Jauzy berkata dalam Al-Maudh’uat (2/129):




“Tidak diragukan lagi, hadits ini adalah maudhu. kemudian
lanjutnya: “Dan sungguh kita telah melihat mayoritas orang
yang melakukan sholat Al-Fiyyah ini sampai larut malam, sehingga merekapun
malas sholat shubuh atau bahkan tidak sholat subuh”.



Imam Ibnul Qoyyim juga berkata dalam Al-Manarul Munif hal.
98-99:




“Diantara contoh hadits-hadits maudhu’ adalah hadits tentang
shalat nisfhu sya’ban”. Lalu lanjutnya: “Sungguh
sangat mengherankan, ada seorang yang mengerti ilmu hadits, namun
tertipu dengan hadits-hadits semacam ini lalu mengamalkannya. Padahal
shalat seperti ini baru disusupkan dalam Islam setelah tahun 400 Hijriyyah
dan berkembang di Baitul Maqdis”



Imam As-Syaukani berkata dalam Majmu’atul Fawaaid:



“Hadits ini maudhu’. Seorang yang cakap dalam ilmu hadits,
hanya dengan melihat lafadznya saja, yakin bahwa hadits ini palsu.”



5

Diriwayatkan dari jalan beberapa sahabat yaitu Muadz Ibnu Jabal, Abu
Tsa’labah Al-Hutsany, Abdullah Ibnu Umar, Abu Musa Al-Asy’ary, Abu
Hurairah, Abu Bakar As-Shidiq, Auf bin Malik, dan Aisyah -Semoga Alloh
meridhai mereka semua.



Diantara para ulama yang menshahihkan hadits ini adalah seorang ahli
hadits besar Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albany dalam kitabnya Silsilatul
Ahaditsis Shahihah (No.1144), Beliau berkata: “Kesimpulannya;
hadits ini tidak diragukan shahihnya, karena diriwayatkan dengan banyak
sanad.”


6

Al Amru bilittiba` hal. 177-178.

7

Al Amru bilittiba` hal. 179.





Disarikan oleh Abu Ubaidah Yusuf Al-Atsary dari kitab “Al-Hawadits
Wal Bida’”, Imam At-Thur thusy, ta’liq syaikh Ali bin Hasan.
Dan kitab “Al-Amru Bil Ittiba’”. Imam As-Suyuthy,
tahqiq Syaikh Mashur bin Hasan Alu Salman. Dan risalah “At-Tahdzir
Minal Bida’”. Imam Abdul Aziz bin Baz.
Hadist dari Abu Hurairah yang telah disepakati al-Bukhary & Muslim Rasulullaah Shalallaahu ‘alaihy wasallam bersabda:

"Ada 7 golongan yang akan dinaungi Allah di bawah naungan-Nya. Pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya,yaitu…

[1]Pemimpin yang adil
[2]Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya 
[3]Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut dengan Masjid 
[4]Dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul & berpisah karena Allah 
[5]Seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan cantik & berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, "Aku takut kepada Allah" 
[6]Seorang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah-olah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya 
[7]Seseorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya."
Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah kan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akherat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akherat. (HR. Muslim)

Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman.
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”.

Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE