Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
1. Kafarat Bagi Laki-Laki yang Menjama'i Istrinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i istrinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus meng-qadha puasanya dan membayar kafarat, yaitu membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan kalimat kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih, karena perawinya lebih banyak jumlah dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya Kafarat
Barangsiapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
"Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya." (Al Baqarah : 286)
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah kurma untuk diberikan keluarganya.
3. Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, kaena ketika dikabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja, Wallahu a'lam
1. Qadha Tidak Wajib Segera Dilakukan
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahanman agama kepada kita- bahwasanya meng-qadha puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajiban dengan jangka waku yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu'anha:
"Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tidak bisa meng-qadhanya kecuali di bulan Sya'ban."1
Berkata Al Hafidz di dalam Al Fath (4/191): "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak."
Sudah dikatahui dengan jelas bahwa bersegera dalam meng-qadha lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak mendunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al Qur-an:
"Bersegeralah kalian utuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian." (Ali Imran : 133)
"Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (Al Mu'minun : 61)

2. Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Meng-qadha Karena Ingin Menyamakan Sifat Penunaiannya
Berdasarkan firman Allah pada surah Al Baqarah 185:
"Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
Dan Ibnu Abbas berkata:
"Tidak mengapa dipisah-pisahkan (tidak berturut-turut)."2
Abu Hurairah berkata, "Diseling-selingi kalau mau."3
Adapun yang diriwayatkan Al Baihaqi (4/259), Daruquthni (2/191-192) dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu:
"Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya di qadha secara berturut-turut tidak boleh memisahnya."
ini adalah riwayat yang dhaif. Daruquthni berkata: Abdurrahman bin Ibrahin dhaif.
Al Baihaqi berkata, "Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa-i dan Daruquthni."
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir (2/206) dari Ibnu Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al Albani rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dlam Irwa-ul Ghalil (943)
Adapun yang terdapat dalam Silsilah hadits dhaif (2/137) yang terkesan bahwa beliau menghasankannya, dia ruju' dari pendapat ini.
Peringatan: Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam meng-qadha, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Masail-nya (95), "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha Ramadhan, beliau menjawab kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut." Wallahu'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.

3. Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apalagi Orang Lain Tidak Bisa Meng-qadhanya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh diuasakan oleh ahaknya selama dia hidup, tetapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya utuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nazar puasa, harus dipuasakan oleh walinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nazar hendaknyanya diganti oleh walinya."4
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Datang seorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar."5
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nazar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masail Imam Ahmad riwayat Abu Dawud (96) dia berkata, "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata bahwa tidak berpuasa mayit kecuali puasa nazar." Abu Dawud berkata, "(Sedangkan) Puasa Ramadhan?" Beliau (Imam Ahmad) menjawab, "Memberi makan."
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. 'Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil  riwayat 'Amarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramdhan kemudian dia berkata kepada 'Aisyah, "Apakah aku harus meng-qadha puasanya?" 'Aisyah menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim."
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilal Atsar (3/142), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (7/4), ini lafadz dalam Al Muhalla, dengan sanad shahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, beliau berkata, "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha, kalau punya hutang nazar diqadha oleh walinya." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al Muhallah (7/7), beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhuma adalah periwayat hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nazar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nazar." Baliau bersabda, "Qadha-lah untuknya." Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibndul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud (3/279-282). (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nazar dibolehkan diqadha oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.
Al Hasan berkata, "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan.6 Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

-------------------
1. HR. Bukhari (4/166), Muslim (1146)
Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minah (422) setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwasanya beliau (yakni 'Aisyah) tidak mempu dan tidak dapat meng-qadha pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan mengakhirkan qadha.
2. Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq (4/189), di maushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lih: Taghliqut Ta'liq (3/186).
3. Lih: Irwa-ul Ghalil (4/95).
4. Bukhari (4/168), Muslim (1147).
5. Bukhari (4/169), Muslim (1148).
6. Bukhari (4/112) secara mu'allaq, di maushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (1/58).
Perkara-Perkara Yang Merusak Puasa

Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah:
1. Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah 'Azza Sya'nuhu berfirman:
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datangnya) malam." (Al Baqarah : 187)
Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum."1
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa."2

2. Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk meng-qadha puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya meng-qadha puasanya."3

3. Haidh dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan meng-qadha kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bukankah jika haidh dia tidak shalat dan puasa?" Kami katakan, "Ya." Beliau berkata, "Itulah (bukti) kurang agamanya."4
Dalam riwayat lain:
"Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya."
Perintah meng-qadha puasa terdapat dalam riwayat Mu'adzah, dia berkata:
"Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah, "Mengapa orang haidh meng-qadha puasa tetapi tidak meng-qadha sholat?" 'Aisyah berkata, "Apakah engkau wanita Haruri"5 Aku menjawab, "Aku bukan Haruri, tetapi hanya (sekedar) bertanya." 'Aisyah berkata, "Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa, tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat."6

4. Suntikan Yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang yang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa.7 Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka inipun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.

5. Jima'
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22): "Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapun jika jima' tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja."
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66), "Al Qur-an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini."
Dalilnya adalah firman Allah:
"Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian." (Al Baqarah : 187)
Diizinkan bergaul (dengan istrinya) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus meng-qadha dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (dia berkata):
"Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata, "Ya Rasulullah, binasalah aku!" Rasulullah bertanya, "Apakah yang membuatmu binasa?" Orang itu menjawab, "Aku menjima'i istriku di bulan Ramadhan." Rasulullah bersabda, "Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?" Orang itu menjawab, "Tidak." Rasulullah bersabda, "Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?" Orang itu menjawab, "Tidak." Rasulullah bersabda, "Duduklah." Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah kurma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, "Bersedekahlah." Orang itu berkata "Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, "Ambilah, berilah makanan keluargamu."8

---------------
1. HR. Bukhari (4/135) dan Muslim (1155)
2. HR. Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar (2/56), Al Hakim (2/198), Ibnu Hazm dalam Al Ihkam (5/149), Ad Daruquthni (4/171) dari dua jalan, yaitu dari Al Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umair, dari Ibnu Abbas, sanadnya shahih.
3. HR. Abu Dawud (3/310), Tirmidzi (3/79), Ibnu Majah (1/536), Ahmad (2/489) dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqatus Shiyam halaman 14.
4. HR. Muslim (79) dan (80) dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah.
5. Al Haruri nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali ada di negeri tersebut, demikian dikatakan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (4/424) dan lihat A Lubab (1/359) karya Ibnu Atsir.
Mereka, orang-orang Haruriyah mewajibkan wanita-wanita yang telah suci dari haidh untuk meng-qadha shalat yang terluput semasa haidhnya. 'Aisyah khawatir Mu'adzah menerima pertanyaan dari khawarij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka. Orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak. Lihat pasal At Tautsiq 'anillah wa Rasulihi dari risalah Dirasat Manhajiyat fii Aqidah As Salafiyah karya Alim Al Hilali.
6. HR. Bukhari (4/429) dan Muslim (335).
7. Lihat Haqiqatus Shiyam hal 15, Karya Syaikh Islam Ibnu Taimiyah.
8. Hadits shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari (11/516), Muslim (1111), Tirmidzi (724), Baghawi (6/288), Abu Dawud (2390), Ad Darimi (2/11), Ibnu Majah (1671), Ibnu Abi Syaibah (2/183-184), Ibnu Khuzaimah (3/216), Ibnul Jarud (139), Syafi'i (199), Malik (1/297), Abdur Razak (4/196), sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan: "Qadha-lah satu hari sebagai gantinya." Dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (11/516), memang demikian.
YANG WAJIB DIJAUHI OLEH ORANG YANG PUASA
Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya'nuhu yang dinamakan orang puasa adalah yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, dan mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor, dan keji, mempuasakan perutnya dari makan dan minum, dan mempuasakan kemaluannya dari jima'. Jika bicara dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih.

Inilah puasa yang disyari'atkan Allah hanya semata tidak makan dan minum serta tidak menunaikan syahwat, puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum, sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa sehingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.

Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk behias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.

Seorang muslim yang berpuasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagai mana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian" (Surat Al-Baqoroh: 183). Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak perbuatan maksiat, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam (yang artinya): "puasa adalah perisai"1), telah kami jelaskan masalah ini dalam bab keutamaan puasa.
Inilah saudaraku seislam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh dalamnya, bagi Allah lah untaian syair:
Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek
tapi untuk menjauhinya
barangsiapa yang tidak tahu kebaikan
dari kejelekan akan terjatuh kedalamnya..

1. Perkataan palsu
Dari Abi Hurairah : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, Allah tidak ada butuh perbuatannya meninggalkan makan dan minumnya."2)

2. Berkata/berbuat sia-sia dan kotor.
Dari Abu Hurairah : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji, jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : "Aku sedang puasa, Aku sedang puasa."3)
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam mengancam dengan ancaman yang keras orang-orang yang berbuat sifat-sifat tercela ini.
Beliau pernah bersabda (yang artinya): "Banyak orang yang puasa, bagiannya dari puasa hanyalah lapar dan haus."4)
Dan sebab terjadinya demikian adalah bahwa orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahaminya, sehingga Allah memberikan keputusan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya.5)
Oleh sebab itulah Ahlul Ilmi dari generasi salafus shalih membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan larangan yang tidak khusus dengan ibadah dan ini tidak membatalkannya.6)

-------------------
1) telah lewat takhrijnya
2) HR Bukhori (4/99)
3) HR Ibnu Khuzaimah (1996), Al-Hakim (1/430-431). sanadnya SHAHIH
4) HR Ibnu Majah (1/539), Darimi (2/221), ). Ahmad (2/441, 373), Baihaqi (4/270) dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah, sanadnya SHAHIH
5) Lihat Al-Lu'lu' Wal Marjan fima Ittafaqo 'alaihi Asy-Syaikhoni (707) dan Riyadhush Shalihin (1215)
6) Rujuklah : Jami'ul ulum wal Hikam (hal 58) oleh Ibnu Rajab
1. Kapan Orang yang Puasa Berbuka?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam." (Al Baqarah : 187)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembahasan yang telah lalu) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.
wahai hamba Allah inilah perkataan-perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada di hadapanmu dapatlah engkau mambacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya Radhiyallahu'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam.
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafidz dalam Fathul Bari (4/199) dan al Haitsami dalam Majma' Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi:
"Para sahabat Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur."

2. Menyegerakan Berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan menyelisihi Yahudi dan Nashrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu, yakni hingga terbitnya bintang. maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul di atasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka."1
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama 'berpegang dengan sunnah Rasul mereka dan menolak semua yang merubah sunnah'.
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)."2
c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak mejadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin itu bertiup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka3, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya."4
Kami katakan:
Hadits-hadit di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:
1) Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Isalm, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Karmelin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al Qur-an dan As Sunnah dalam masalah aqidah dan manhaj.
2) Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara Kaffah." (Al Baqarah : 208)
Atas dasar inilah, maika ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian lainnya; kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh kita mengetahui bahwa buah dari menyelisihi Yahudi dan Nashrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
3) Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkaran baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyakan dari mereka, "Ini perkara-perkara kecil, furu', khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita!"
Perhatikan wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas bashirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung kepada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatakala lingkaran matahari telah terbenam. Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenambya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam ini dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit, walaa haula walaa quwwata illa billah.
d. Berbuka sebelum Shalat Maghrib
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka sebelum shalat Maghrib5 karena menyegerakan berbuka adalah termasuk akhlaqnya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu'anhu:
"Tiga perkara yang merupakan akhlaq para nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat."6

3. Berbuka Dengan Apa?
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berbuka dengan kurma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (At Taubah : 128)
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (kurma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya kurma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahui kecuali orang yang beritiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu'anhu, (ia berkata):
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan kurma basah (ruthtah), jika tidak ada ruthtah maka berbuka dengan kurma kering (tamar), jika tidak ada tamar maka minum dengan satu tegukan air."7

4. Yang Diucapkan Ketika Berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berupasa -mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam- sesungguhnya engkau mempunyai do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dengan keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai- Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Tiga do'a yang dikabulkan: do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir."8
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam:
"Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya: orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi."9
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki do'a yang tidak akan ditolak."10
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan
(yang artinya): "Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala, Insya Allah."11

5. Memberi Makan Orang Yang Puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa, akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun."12
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wasallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyiakan-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'kan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'kan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian."13
"Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum."14
Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan."15

-------------
1. HR. Bukhari (4/173) dan Muslim (1093)
2. HR Ibnu Hibban (891) dengan sanad shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- kami katakan: Syiah Rafidhah telah mencocoki Yahudi dan Nashrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.
3. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan buka mengikuti Yahudi dan Nashrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a'lam
4. HR. Abu Dawud (2/305), Ibnu Hibban (223), sanadnya hasan.
5. HR. Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad hasan.
6. HR Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma' (2/105), dia berkata: "...marfu' dan mauquf, mauquf shahih adapun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya." Aku katakan: Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'.
7. HR. Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277. 278), Tirmidzi (3/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih.
8. HR. Uqaili dalam Adh Dhu'afa (1/72), Abu Muslim Al Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari sanadnya hasan kalau tidak ada 'an'anah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid, yaitu hadits selanjutnya.
9. HR. Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407). Ada jalalah Abu Mudilah.
10. HR. Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan. Al Bushari berkata (2/81): "ini sanad yang shahih, perawi-perawi tsiqat."
11. HR. Abu Dawud (2/306), Baihaqi (4/239), Al Hakim(1/422), Ibnu Sunni (128), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata: "Sanadnya hasan." Aku katakan: memang seperti ucapannya.
12. HR. Ahmad (4/144, 115, 116, 5/192), Tirmidzi (804), Ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.
13. HR. Ibnu Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa-i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sanadnya shahih.
Peringatan: Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini, yaitu "Allah menyebutkan di majelis-Nya" adalah tidak ada asanya.
14. HR. Muslim (2055) dari Miqdad.
15. HR. Muslim (2042) dari Abdullah bin Busrin.

ALLAH MENGINGINKAN KEMUDAHAN BAGI KALIAN DAN TIDAK MENGINGINKAN KESULITAN
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, Kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah kitab yang mulia, Allah berfirman: (yang artinya): "Barangsiapa yang sakit atau dalam safar gantilah pada hari yang lain, Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al Baqarah:185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar? -dia banyak melakukan puasa- maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): "Puasalah jika kamu mau dan berbukalah kalau mau." 1)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu berkata: "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di bulan Ramaadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa." 2)
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita nyatakan juga afdhal adalah berbuka dengan hadits-hadits yang umum; seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya): "Sesungguhnya Allah senang didatangi rukhsah yang ia berikan, sebagaimana membenci orang yang melakukan maksiat." 3)
Dalam satu riwayat yang lain: "Sebagaimana Allah senang diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan." 4)
Tapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melencengkan dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan segamblang-gamblangnya, dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiallahu 'anhu : "Para shahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa itu baik, dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka juga bagus." 5)
Ketahuilah saudaraku seiman mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman dalam agama- sesungguhnya puasa dalam safar jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tapi berbuka lebih utama dan lebih disenangi Allah, yang menjelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang shahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya): "Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar." 6)
Peringatan
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang tidak diperbolehkan berbuka, hingga mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini, orang-orang seperti ini perlu kita "usik" ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya): "Rabmu tidak pernah lupa." (QS. Al-Maryam:64)
dan firman-Nya (yang artinya): "Allah telah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah:232)
Dan perkataan-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya): "Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan." (QS. Al- Baqarah:185)
Yakni: Kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syariat, cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyariatkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia, Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang maslahat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya): "Tidakkah kalian tahu siapa yang mencipta Dialah Yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui." (QS. Al-Mulk:14)
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mu'min yang tidak mendahulukan perkataaan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya:
"Wahai Rabb kami mendengar dan taat, ampunilah kami, wahai Rabb kepada-Mu-lah kami kembali." (Al-Baqarah:285)

2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, kemudahan bagi orang yang sakit, sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang bila dibawa berpuasa akan menyebabkan satu madharat atau semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu A'lam.

3. Haid dan Nifas
Ahlul Ilmi telah ijma bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan puasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha kalaupun keduanya puasa tidaklah sah, akan datang penjelasannya. Insya Allah
4. Kakek dan Nenek yang sudah tua
Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhuma berkata: "Kakek dan nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin." 7)
Diriwayatkan dari Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca: (yang artinya): "Orang-orang yang ridak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makanan bagi orang miskin." (QS. Al-Baqarah:184)
Kemudian beliau berkata: "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya ½ sha gandum. 8)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu: "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya 1 mud gandum." 9)
Dari Anas bin Malik: "Beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid, dan mengundang 30 orang miskin hingga mereka kenyang." 10)

5. Orang hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah, Allah memberi rukhshah pada mereka untuk berbuka, dan di antara mereka adalah orang hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik 11): "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , aku temukan dia sedang makan pagi, beliau bersabda: "mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnyaa Allah Tabaroka wa Ta'ala menggugurkan ½ shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa. Demi Allah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, aduhai lahfa jiwaku kenapa tidak makan makanan nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . 12)

----------------
1) HR Bukhari (4/156), Muslim (1121)
2) HR Bukhari (4/163), Muslim (1118)
3) HR Ahmad (2/108), Ibnu Hibban (2742) dari Ibnu Umar dengan sanad yang SHAHIH
4) HR Ibnu Hibban (354), Bazzar (990), Thabrani di (Al-Kabir) (11881) dari Ibnu Abbas, dengan sanad yang SHAHIH. Dalam hadits –dengan dua lafadznya ini- ada pembicaraan yang panjang bukan di sini tempat menjelaskannya.
5) HR Tirmidzi (713), Al-Baghawi (1763) dari Abu Said, sanadnya SHAHIH, walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abdul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-ijili dan lainnya.
6) HR Bukhari (4/161), Muslim (1110) dari Jabir
7) HR Bukhari (4505), lihat Syarhus Sunnah (6/316), Fathul Bari (8/180), Nailul Authar (4/315), Irwaul Ghalil (4/22-25), Ibnul Mundzir menukil dalam "Al-Ijma" (no.129). Akan adanya ijma dalam maslah ini.
8) Lihat ta'liq barusan
9) HR Daruquthni (2/208) dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih, dia dhaif, tapi punya syahid.
10) HR Daruquthni (2/207), sanadnya SHAHIH
11) Dia adalah Al Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshori, pembantu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , tapi ini adalah seorang pria dari Bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan 1 hadits saja dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , yakni hadits di atas. Lihat "Al-Ishabah" (1/114-115) karya Ibnu Hajar, "Tajridu Asmais Shahabah" (1/13) karya Adz Dzahabi, gandengkan bersama "Fathul Qadiir" (2/268) keduanya da perbedaan yang halus.
12) HR Tirmidzi (715), Nasai (4/180), Abu Dawud (3408), Ibnu Majah (16687). Sanadnya HASAN sebagimana pernyataan Tirmidzi.
YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH SEORANG YANG PUASA
Seorang hamba yang taat yang faham Al-Qur'an dan sunnah tidak ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hambanya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya, Inilah perbuatan-perbuatan tersebut beserta dalil-dalilnya :
1. Seorang yang puasa dibolehkan memasuki waktu subuh dalam keadaan junub.
Diantara perbuatannya Shalallahu 'alaihi wasallam masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu 'anhuma (yang artinya): "Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan istrinya, kemudian ia mandi dan berpuasa." 1)

2. Seorang yang puasa boleh bersiwak
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Kalaulah tidak memberatkan umatku niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudhu".2)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam tidak mengkhususkan orang yang puasa ataupun yang lainnya, ini sebagai dalil bahwa siwak bagi orang yang puasa dan lainnya ketika setiap wudhu dan shalat.3)
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu a'lam.

3. Berkumur-kumur dan memasukan air ke hidung.
Karena Beliau Shalallahu 'alaihi wasallam berkumur dan beristinsyaq dalam keadaan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika istinsyaq (memasukan air ke hidung) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "…..bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa."4)

4. Bercengkrama dan mencium istri.
Aisyah radhiallahu 'anha pernah berkata: "Rasulullah mencium dalam keadaan puasa dan bercengakrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri."5)
Seorang pemuda dimakruhkan berbuat demikian, Abdullah bin Amr bin 'Ash berkata: "Kami pernah berada di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : Datanglah seorang pemuda seraya berkata: "Ya Rasulallah bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ? Beliau menjawab:"Tidak", datang pula seorang yang sudah tua dia berkata:"Ya Rasulullah: Bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa? Beliau menjawab: “Ya” ; sebagian kamipun memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya orang tua bisa menahan dirinya.” 6)

5. Mengeluarkan darah, suntikan yang tidak mengandung makanan.7)
Semua ini bukan pembatal puasa. Lihat pada pembahasan di halaman 50 (buku aslinya –pent)

6. Berbekam
Dulu bekam merupakan salah satu pembatal wudhu, kemudian dihapus, telah ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau berbekam ketika puasa, berdasaarkan satu riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: “Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berbekam dalam keadaan puasa.”8)

7. Mencicipi makanan
Ini dibatasi selama tidak sampai tenggorokan, karena riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: “Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaaan puasa selama tidak sampai ke tenggorokan.”9)

8. Bercelak dan tetes mata dan lainnya yang masuk ke mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya dirasakan di tenggorokan atau tidak, inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnyaa yang bermanfaat “Haqiqatus Shiyam” serta muridnyaa Ibnu Qoyyim dalam kitabnya ‘Zaadul Ma’ad”, Imam Bukhari berkata dalam kitab “Shahihnya” 10): “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakhai’ memandang tidak mengapa bagi yang berpuasa.”

9. Mengguyurkan air dingin ke atas kepalanya dan mandi
Bukhari menyatakan di dalam kitab “Shahihnya” 11) “Bab mandinya orang yang puasa”, Umar membasahi 12) bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa, As Sya’bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa, Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa.”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan,” 13)

--------------
1) HR. Bukhori (4/123), Muslim (1109).
2) HR. Bukhori (2/311), Muslim (252) semisalnya.
3) Inilah pendapat Bukhori rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat (Fathul Bari) (4/158) (shahih Ibnu khuzaimah) (3/247) (Syarhus Sunnah) (6/298)
4) HR. Tirmidzi (3/146), Abu Daud (2/308), Ahmad (4/32), Ibnu Abi Syaibah (3/101), Ibnu majah (407), An-Nasa'I (no. 87) dari Laqith bin Shabrah sanadnya SHAHIH
5) HR Bukhori (4/131), Muslim (1106)
6) HR Ahmad (2/185, 221) dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Yazid bin Abi Hubaib dari Qaishar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi’ah, tapi punya syahid dalam riwayat Thabrani di “al-Kabir” (11040) dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah ‘an ‘anah dengan syahid ini hadits jadi hasan, lihat –harus- Al-Faqih Wal Mutafaqih (192-193) ….
7) Lihat “Risalaatani Mujizatani fiz-zakaat washshiyam” (hal.23) Syaikh Abdul Aziz bin Bazz
8) HR. Bukhari (4/155 – Fath), lihat “Nasikhul hadits wa mansukhuhu” (334-338) karya Ibnu Syakin
9) HR. Bukhari secara muallaq (4/154-fath), dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah (3/47), Baihaqi (4/261) dari dua jalannya. Hadits hasan, lihat “Taqliqut Taqliq” (3/151-152)
10) (4/153-Fath) gandengkan dengan (Mukhtasar Shahih Bukhari) (451) Syaikhuna Al-Albani, “Taqliqut Ta’liq” (3/152-153)
11) Lihat maraji-maraji tadi.
12) Membasahi dengan air, untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa.
13) HR. Abu Dawud (2365), Ahmad (5/376,380,408,430) sanadnya SHAHIH

SAHUR
1. Hikmahnya.
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman, (yang artinya) :
"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebeleum kalian agar kalian bertaqwa." (Surat Al-Baqoroh :183)
Waktu dan hukumya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlil Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah setelah tidur. Yaitu jika salah seorang mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkn atas kaum muslimin sebagaimana kami telah terangkan di muka 1), karena dihapus hukum tersebut, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur".2)

2. Keutamaannya.
a. Sahur Barokah.
Dari Salman radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda(yang artinya): "Barokah ada pada tiga perkara : Jama'ah, Tsarid dan makan sahur."3)
Dan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menjadikan barakah itu pada makan shaur dan kiloan".4)
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : Aku masuk menemui Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam ketika dia makan sahur beliau berkata (yang artinya): "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan".5)
Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa, karena merasa ringan orang yang puasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wasallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Sariyah dan Abi Darda' radhiallahu 'anhuma "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi : yakni sahur."6)
b. Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Mungkin barokah sahur terbesar adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar memaafkan mereka, agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."7)
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma."8)
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk berbuka*) walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."9)

3. Mengakhirkan sahur.
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di kitabullah.
Anas radhiallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu: "Kami makan sahur bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab: "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an."10)
Ketahuilah wahai hamba Allah –mudah-mudahan Allah membimbingmu- kamu diperbolehkan makan, minum, dan jima' selama ragu telah terbit fajar atau belum, dan Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan batasan-batasannya, hingga jelaslah sudah, karena Allah Jalla Sya'nuhu memaafkan kesalahan, kelupaan, serta membolehkan makan, minum dan jima' ada penjelasan, sedangkan orang ragu belum mendapat penjelasan. Sesungguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi, jelaslah.

4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya –dengan perintah yang sangaat ditekankan- Beliau bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu."11)
Dan bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah."12)
Kemudian menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya):
"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab makan sahur."13)
Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya):
"Sahur adalah makanan yang barokah, janganlah kalian tinggalkan, walaupun hanya meminum seteguk air, karena Allah dan Rasul-Nya memberi shalawat kepada orang yang sahur".14)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sahurlah kalian walaupun dengan setengah air."15)
Saya katakan: kami berpendapat perintah nabi Shalallahu 'Alaihi wasallam ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi :
  1. Perintahnya.
  2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab.
  3. Larangan meninggalkan sahur
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya "Fathul Bari" (4/139) ijma' atas sunnahnya!! Wallahu A'lam


------------------
1) Lihat -sebagai tambahan- tafsir-tafsir berikut :
1. Zaadul Masir (1/184) oleh Ibnul Jauzi.
2. Tafsir Qur'anul 'Adhim (1/213-214) Ibnul Katsir
3. Ad-Durul Mantsur (1/120-121) Karya Imam Suyuthi
2) HR Muslim (1096)
3) HR. Thabrani dalam "Al-Kabir" (6127), Abu Nu'aim pada "Dzikru Akhbari Ashbahan" (1/57) dari Salman Al-Farisy. Al-Haitsami berkata (Al-Majma') (3/151) dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-Bashiri, Adz-Dzahabi berkata :"Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat" Hadits ini mempunyai syahid dalam riwayat Abu Hurairah :diriwayatkan oleh Al-Khatib Muwadih auhumul sam'I watafriq (1/203) sanadnya HASAN.
4) HR. Asy-Syirasy (Al-Alqab) sebagaimana dalam (Jami'as Shaghir) (1715) dan Al-Khatib (Al-Muwaddih) (1/263) dari Abi Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam (Fawaidul Qadir) (2/223) sepertinya dia belum menemukan sanadnya!!
5) HR Nasa'I (4/145) dan Ahmad (5/270) sanadnya SHAHIH.
6) Adapun hadits Al-Irbath: diriwayatkan oleh Ahmad (4/126) dan Abu Daud (2/303), Nasa'I (4/145) dari jalan Yunus bin Saif, dan seterusnya sedangkan hadits Abi Darda':riwayat Ibnu Hibban (223) dari Al-Harits bin Ziyad dari Abi Rahm dari Irbath, Al-Harits majhul. Adapun hadits Abu Darda' diriwayatkan Ibnu Hibban (223 - mawarid) dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risdin bin Saad …….Risydin dhoif, hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Miqdam bin Ma'di Karib, diriwayatkan oleh Ahmad (4/133) Nasa'I (4/146) sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah, karena dia menegaskan hadits dari syaikhnya! akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh Thabaqot hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah? maka hadits shahih.
7) Telah lewat takhrijnya.
8) HR Abu Daud (2/303), Ibnu Hibban (223) Baihaqi (4/237) dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari, dari Abi Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH.
9) Telah lewat takhrijnya.
10) HR. Bukhori (4/118), Muslim (1097), Al-Hafidz berkata dalam "Al-Fath" (4/138):" Diantara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, kira-kira selama memeras kambing, Fawaqa Naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih unta, sehingga Zaid pun memakai ukulamanya baca mushhaf, sebagai isyarat dari beliau radhiallahu 'anhu, bahwa waktu itu adalah waktu ibadah, dan amalan mereka membaca dan mentadbur Al-Qur'an ". Sekian dengan sedikit perubahan.
11) Ibnu Abi Syaibah (3/8), Ahmad (3/367), Abu Ya'la (3/438), Al-bazzar (1/465) dari jalan Syarik bin Abdullah bin Muhammad bin 'Adil dari Jabir. Syarik dhaif, akan tetapi ada syahid yang mursal dari Said bin Manshur dalam kitab "Sunan" dengan laafadz "Sahurlah kalian walau dengan sesuap nassi", demikian menurut Al-hafidz (Al-fath) (4/120), juga punya syahid lain, akan datang setelah 3 hadits.
12) HR Bukhori (4/120), Muslim (1095) dari Anas.
13) telah lewat takhrijnya
14) HR Ibnu Abi Syaibah (3/8), Ahmad (3/12,3/44) dari tiga jalan dari Abi Said al-Khudri. sebagiannya menguatkan yang lain.
15) HR Abu Ya'la (3340) dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban (no.884) padanya An'anah, Qatadah: Hadits hasan
WAKTU PUASA
Pada awalnya para shahabat Nabiyul ummi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan dan minum serta menjimai istrinya selama belum tidur, Namun jika seorang diantara mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka) dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara diatas, kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya, memberikan rukhshoh hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur, hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut :
Dari Al-Barraa' bin Ajib radhiallahu 'anhu berkata : "Dahulu shahabat nabi Shalallahu 'alaihi wasallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore lagi. Sungguh Qois bin Shirmah Al-Anshary pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi istrinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ? Istrinya menjawab: "Tidak". Namun aku akan pergi mencarinya untukmu, dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk dan tertidur, ketika istrinya kembali dan melihatnya, istrinya pun berkata : "Khaibah untukmu 1) ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi hingga turunlah ayat ini yang artinya :
"Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur (berjima) dengan istri-istrimu" (Surat Al-Baqoroh : 187).
Mereka sangat gembira dan turun pula : (yang artinya) "Dan makan dan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam dari fajar."2)
Inilah rahmat rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : "Kami mendengar dan taat wahai Rabb kami ampunilah dosa kami kepada-Mulah kami kembali" yakni dengan memberikan batasan waktu puasa : batasan mulai dan berakhirnya yakni dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnyaa bundaran matahari di ufuk.
1. Benang Putih dan benang Merah
Ketika turun ayat tersebut sebagian shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam sengaja mengambil Iqol hitam dan putih 3), kemudian mereka letakan dibawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan dikaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat keduanya iqol tersebut (membedakan antara yang putih dari yang hitam).
Dari Adi bin Hatim radhiallahu 'anhu berkata : "ketika turun ayat: "Jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam."
Aku mengambil iqol hitam digabungkan dengan iqol putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun berkata : "Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang".4)
Dari Sahl bin Sa'ad radhiallahu 'anhu berkata, ketika turun ayat : "makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benag putih dari benang hitam."
Ada seorang pria jika ingin puasa, mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah turunkan ayat: "Karena terbitnya fajar", mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang".5)
Setelah penjelasan Qur'ani ini, sungguh telah dijelaskan oleh Rasul Shalallahu 'alaihi wasallam kepada shahabatnya batasan untuk membedakan serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Bagi Allah-lah mutiara penyair : Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau siang butuh bukti

2. Fajar Ada dua.
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua :
1. Fajar Yang Kadzib, tidak dibolehkan ketika itu shalat subuh, dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
2. Fajar Shadiq : yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat subuh.
Dari Ibnu Abbas radhallahu 'anhuma : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua : mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut."6)
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
1. Fajar kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak diatas puncak di bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah, fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah radhiallahu 'anhu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar keatas sampai melintang."7)
Dari Thalq bin Ali: Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Makan dan minumlah jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar keatas, makan dan minumlah sampai warna merah membentang."8)
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia: "Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam karena fajar."
Karena cahaya fajar jika membentang diufuk di atas lembah dan gunung-gunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak diatasnya benang hitam yakni sisa-sia kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima' , kalau ditanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang. Karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa, minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan:
Raslullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Jika salah seorang kalian mendengar adzan padahal gelas ada ditangannya, janganlah ia letakan hingga memenuhi hajatnya."9)
Yang dimaksud adzan dalam hadits diatas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya fajar shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/510), Ibnu Jarir Ath-Thabari (2/102) dan selain keduanya setelah hadits diatas.
"Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar."10)
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah radhiallahu 'anhu: "telah dikumandangkan iqomah shalat ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata: "Boleh aku meminumnya, ya Rasulallah ? Rasulullah bersabda : Ya minumlah."11)
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit fajar shadiq dengan dalih Ihtiyath (hati-hati) adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : (Fath) (4/199): "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ihtiyath dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat, untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan buka dan menyegerakan sahur, hingga menyelisihi sunnah, oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan kejahatan banyak tersebar pada mereka, Allahul Musta'an.
Kami katakan : Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu buka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini, kepada Allahlah kita mengadu.

3. Kemudian menyempurnakan Puasa hingga malam.
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangnya siang dari barat dan matahari telah terbenam berbukalah orang yang berpuasa.
Dari Umar radhiallahu 'anhu berkata Rasulullah Shalalla'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini, dan terbenam matahari telah berbukalah orang yang puasa."12)
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada, termasuk petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang berkata: "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka.13)
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat, sangkaan seperti ini pernah terjadi pada shahabat Rasulullah, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu 'anhu: "Kami pernah bersama Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam satu safar ketika itu kami berpuasa (di bulan Ramadhan) ketika terbenam matahari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada sebagian kaum: "Wahai fulan, (dalam riwayat Abu Daud: "Wahai bilal) berdiri ambilkan kami air, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai Rasulullah kalau engkau tunggu sore (dalam riwayat: "kalau engkau tunggu hingga sore, dalam riwayat lain: Matahari) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Turun ambilkan air, Bilalpun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda: "Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas unta, yakni: Matahari, kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat: berisyarat dengan tangannya).(Dalam riwayat Bukhori-Muslim: berisyarat dengan telunjuknya kearah kiblat) kemudian berkata: "Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa."14)
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para shahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari.15)

[Peringatan]
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru, atau berpegangan dengan tanggalan ahlun nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka 16) wallahu a'lam.
Peringatan Kedua:
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun!! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum, inilah perbuatan syar'I yang shahih, tidak diragukan lagi, barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, telah berprasangka salah, tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi qaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, tetap mengamalkan ushul/pokok yang diajarkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam adalah wajib, hafalkan ini dan fahamilah !

-------------------
1) Dari Al-Khoibah yang diharamkan, dikatakan: Khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
2) HR Bukhori (4/911).
3) Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat Unta "Mashabih" (2/422)
4) HR. Bukhori (4/133), Muslim (1090) dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadir ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tapi tidak demikian karena diwajibkannya puasa tahun kedua Hijriyah, Adi masuk Islam tahun ke sembilan atau ke sepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Musnad Ahmad (4/377): "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam mengajariku shalat dan puasa, beliau berkata: "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih ..... Hadits" Al-Fathul (4/132-133) dengan perubahan.
5) HR Bukhori (4/114) dan Muslim (1091)
6) HR Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191 dan 495), Daruquthni (2/165), Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha' dari Ibnu Abbas. sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir : diriwayatkan oleh hakim (1/191), Baihaqi (4/215), Daruquthni (2/165). Diikhtilafkan maushul atau mursal, dan syahid dari Tsaubun : diriwayatkan oleh Ibnu Abi syaibah (3/27)
7) HR Muslim (1094)
8) HR Tirmidzi (3/76), Abu Daud (2/304), Ahmad (4/66), Ibnu Khuzaimah (3/211) dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, Sanadnya SHAHIH. Abdullah bin Nu'man : Dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali, Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya! Ibnu Hajar berkata Maqbul!!.
9) HR Abu Daud (235), Ibnu Jarir (3115), Al-Hakim (1/426), Al-Baihaqi (2/218), Ahmad (3/423), dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah sanadnya HASAN. Ada jalan lain, diriwayatkan oleh Ahmad (2/510), Hakim (1/203, 205), dari jalan Hamad, dari Amr bin Abi Amarah dari Abu Hurairah Sanadnya SHAHIH. 10) Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman Al-A'dhami Al-Hanafi terhadap "Mushannaf Abdur Razak (4/173) ketika berkata : "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar"!! Walhamdulillahi wahdah
11) HR Ibnu Jarir (2/102) dari dua jalan dai Abu Umamah.
12) HR Bukhari (4/171), Muslim (1100) perkataanya:"telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan, karena telah masuk waktu puasa.
13) HR Al-Hakim (1/434), Ibnu Khuzaimah (2061) diSHAHIHkan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhori-Muslim. Perkataan aufa: yakni: naik atau melihat.
14) HR Bukhori (4/199), Muslim (1101), Ahmad (4/381), Abu Daud (2352). tambahan pertama dalam riwayat muslim (1101). tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razak (4/226) perkataanya "ambilkan segelas air" yakni: siapkan untuk kami minuman dan makanan, Ashal jadh: (mengaduk) menggerakan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu).
15) Diriwayatkan oleh Bukhori dengan Mu'allaq (4/196) dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Mushannaf" (3/12), Said bin Manshur sebagaimana dalam "Al-Fath" (4/196), Umdatul Qori (9/130), lihat "Tagliqut Tagliq" (3/195)
16) Barang siapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik, akan dia temukan dalam kitab:
1. Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (25/126-202)
2. Al-Majmu' Syarhul Muhadzab (6/279) karya Imam Nawawi.
3. Talkhisul kabir (2/187-188) karya Ibnu Hajar.
NIAT
1. Wajibnya berniat puasa sebelum datang waktu subuh ketika puasa wajib.
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk berniat puasa di malam harinya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Barangsiapa yang tidak berniat sebelum fajar untuk puasa maka tidak ada puasa baginya".1)
Dan Sabdanya (yang artinya): "Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya."2)
Niat itu tempatnya di hati, melafadzkannya adalah bid'ah yang sesat walaupun manusia menganggapnya baik, kewajiban untuk berniat sejak malam itu khusus bagi puasa wajib, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pernah datang ke Aisyah selain bulan ramadhan beliau berkata : "Apakah engkau punya santapan siang ? kalau nggak ada aku berpuasa".3)
Hal in juga dilakukan oleh para shahabat: Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu 'anhum kita dibawah bendera sayyidnya bani Adam.4)
Ini berlaku dalam puasa sunnah menunjukan wajibnya niat di malam hari sebelum terbit fajar dalam puasa wajib, Wallahu Ta'ala A'lam.
2. Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan, tapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum kemudian tahu, maka dia harus menahan diri serta menyempurnakan puasanya, cukuplah puasanya tersebut (tidak perlu di qodho'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tapi tidak tahu telah masuk Ramadhan) tidak disyari'atkan niat malam hari karena dia tidak mampu (tidak mengetahui telah masuknya bulan Ramadhan), padahal diantara ushul syari'at yang sudah ditetapkan. "kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at."
Dari Aisyah radhiallahu 'anha : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan puasa 'Asyura,maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, orang yang mau puasa 'Asyura dibolehkan, yang mau berbuka pun dipersilahkan."5)
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' radhiallahu 'anhu berkata : "Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menyuruh seseorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia bahwasanya barangsiapa ynag sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari 'Asyura."6)
Puasa hari 'Asyura dulunya adalah wajib kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka, puasa Ramadhan adalah puasa wajib maka hukumnya sama dengan puasa 'Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Sebagian Ahli Ilmu berkata harus mengqodho' dan 'Asyura bukan wajib.
Ketahuilah saudara seiman bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa 'Asyura itu wajib karena adanya perintah untuk puasa dihari tersebut., sebagaimana dalam hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, kemudian ditambah pula dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaimana dalam hadits Salamah bin Al-Akwa' tadi, serta hadits Muhammad bin Shaifi Al-Anshary: "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam keluar menemui kami pada hari 'Asyura kemudian berkata : "Apakah kalian puasa hari ini ? sebagian mereka berkata : tidak. Beliau berkata : "Sempurnakanlah puasa disisa hari ini". Dan menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud kota madinah –Untuk menyempurnakan sisa hari mereka."7)
Yang memutuskan perselisihan ini adalah prekataan Ibnu Mas'ud:8) "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah 'Asyura,"
Dan ucapan Aisyah 9) juga: "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib, dan ditinggalkanlah 'Asyura (tidak wajib lagi). Walaupun demikian, sunnahnya puasa 'Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz (4/264) dari Ibnu Abdil Barr, jelaslah bahwa sunnahnya puasa 'Asyura masih ada, yang dihapus itu hanyalah kewajibannya. Wallahu A'lam.
Sebagian lagi berkata : Jika puasa wajib niscaya telah mansukh (dihapus) juga hukum-hukumnya. Yang benar hadits-hadits tentang 'Asyura menunjukan beberapa perkara :
1. Wajibnya puasa 'Asyura.
2. Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu tidaklah rusak puasanya.
3. Barangsiapa yang makan minum kemudian tahu disisa hari tersebut tidak wajib mengqodho'.
Yang mansukh adalah masalah perkara yang pertama (wajibnya), hingga 'Asyura hanyalah sunnah sebagaimana telah kita jelaskan, dimansukhnya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Wallahu A'lam. Mereka berdalil dengan hadits Abu Daud (2447) dan Ahmad (5/409) dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya : "bahwa Aslam pernah mendatangi Nabi kemudian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalian puasa hari ini ? mereka menjawab : Tidak. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadhalah kalian. Hadits ini lemah, karena ada dua illat (cela):
Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah, Adz-Dzahabi berkata tentangnya :"Al-Mizan" (2/567): "Tidak dikenal". Al-Hafidz berkata dalam "At-Tahzib" (6/239):"keadaaannya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam "Aj-Jarhu wa At-Ta'dil" (5/288), tidak disebutkan padanya jarh atau ta'dil. Juga ada 'an 'anah Qatadah padahal dia seorang mudallis.

-------------------
1) HR Abu Daud (2454), Ibnu Majah (1933), Al-Baihaqi (4/202), dari jalan Ibnu Wahab, dari Ibnu Lahi'ah dan Yahya bin Ayyub dari Abdullah bin Abi Bakar bin Hazm dari Ibnu Sihab, dari Salim bin Abdillah dari bapaknya dari Hafshah dalam satu lafadz dalam riwayat At-thahawiyah di "Syarhu Ma'anil Atsar" (1/54): "berniat dimalam" dari jalan sendiri. Diriwayatkan pula oleh An-Nasa'I (4/196), Tirmidzi (730) dari jalan lain dari Yahya, sanadnya SHAHIH
2) HR An-Nasa'I (4/196), Al-Baihqi (4/202), Ibnu Hazm (6/162), dari jalan Abdur Razaq dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab. Sanadnya SHAHIH kalau tidak ada 'an 'anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya.
3) HR Muslim (1154)
4) Lihatlah dan takhrijnya dalam "Taghliq Taqliq" (3/144-147)
5) HR Bukhori (4/212) dan Muslim (1125)
6) HR Bukhori (4/216) dan Musllim (1135)
7) HR Ibnu Khuzaimah (3/389), ahmad (4/388), An-nasa'I (4/192), Ibnu Majah (1/552), Ath-thabrani dalam "Al-Kabir" (18/238) dari jalan Asy-Sya'bi darinya. Dengan sanad SHAHIH.
8) HR Muslim (1127)
9) HR Muslim (1125)

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE