Latest Products

Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islami. Tampilkan semua postingan

Sebagian orang menyangka bahwa sifat maaf dan tidak menyakiti perasaan orang lain bukanlah suatu akhlak yang mulia, padahal kedua sifat ini merupakan sifat termulia dan terpuji dalam islam. Sebab tidak diragukan lagi, setiap orang yang bersifat pemaaf, pasti akan mulia dan berakhlak baik, sehingga para salaf rahimahullah ketika mendefinisikan “husnul-khuluq / akhlak yang baik” selalu menyertakan didalamnya sifat pemaaf ini. Diantara mereka ; Hasan Al-Bashri rahimahullah, ia berkata ; “Akhlak yang baik itu adalah gemar memberi, berbuat baik pada oranglain, dan bersabar (memaafkan) atas kesalahan oranglain”. Juga diriwayatkan dari Ibnul-Mubarak rahimahullah ,ia berkata ;

((هو بسط الوجه وبذل المعروف وكف الأذى))
Artinya ; “Akhlak yang baik adalah menampakkan wajah ceria, berbuat baik pada oranglain, dan tidak menyakiti mereka”.2
Imam Ahmad rahimahullah juga berkata ;
((حسن الخلق أن تحتمل ما يكون من الناس))
Artinya ; “Akhlak yang baik itu adalah engkau bersabar dan memaafkan apa yang oranglain lakukan atasmu”.3
Sebagian ulama juga mendefenisikan akhlak baik ini dengan ; “menahan amarah karena Allah, menampakkan wajah ceria kecuali pada ahli bid’ah atau sesat, dan memaafkan orang-orang yang berbuat salah kecuali kalau dengan tujuan mendidiknya”.
Bahkan dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu juga menunjukkan hal ini ;
«يا عقبة ألا أخبرك بأفضل أخلاق أهل الدنيا والآخرة؟ تصل من قطعك، وتعطي من حرمك، وتعفو عمن ظلمك»
Artinya ; “Wahai ‘Uqbah, maukah jika saya beritahukan padamu tentang akhlak yang paling mulia didunia dan diakhirat kelak ? yaitu engkau menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya, memberi orang yang enggan memberimu, dan memaafkan orang yang menzalimi dirimu”.4
Beliau juga pernah menjelaskan ini kepada Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ;
«أبا هريرة عليك بحسن الخلق، قلت وما حسن الخلق؟ قال: تصل من قطعك وتعفو عمن ظلمك وتعطي من حرمك»
Artinya ; “Wahai Abu Hurairah, berakhlak mulialah”, Saya (Abu Hurairah) berkata ; “Bagaimanakah berakhlak mulia itu ?”, beliau bersabda ; “yaitu menyambung tali silaturrahim terhadap orang yang memutuskannya, memaafkan orang yang menzalimimu, dan memberi orang yang enggan memberimu”.5
Ketika Marah : Hendaknya Menghadirkan Pahala Sifat Pemaaf Dalam Hati
Sangatlah baik jika orang yang sedang marah menghadirkan dalam hatinya pahala akhlak mulia, dengannya ia bisa terhibur . Hendaknya ia mengingat bahwa akhlak mulia merupakan penyebab terbesar yang memasukkan banyak manusia kedalam surga, serta sangat berat timbangannya diatas mizan hari kiamat kelak, juga merupakan sebab dekatnya derajat seorang hamba dengan para nabi disurga kelak.
Allah ta’ala berfirman ;
ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ ٱلسَّيِّئَةَۚ نَحۡنُ أَعۡلَمُ بِمَا يَصِفُونَ ٩٦
Artinya ; ” Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan (QS Al-Mukminun ; 96).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa ia memaknai ayat ini ” Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik” ; yaitu hendaknya bersabar ketika marah, dan memaafkan ketika disakiti, jika mereka melakukan hal ini, maka Allah pasti melindungi mereka serta musuh-musuh akan tunduk pada mereka”.6
Dengan Memaafkan : Derajatmu Semakin Mulia Dan Dicintai Allah
Salah satu faktor keengganan manusia untuk memaafkan, sabar dan menahan amarah adalah adanya keyakinan bahwa jika ia tidak marah maka dirinya terasa hina ,rendah dan nampak kelemahannya, padahal ini adalah godaan syaithan yang terkutuk.
Wahai saudaraku yang tercinta, sungguh dengan menampakkan sikap pemaaf dan menahan amarah terhadap kesalahan dan ketergelinciran orang lain ,engkau bahkan telah menambah kemuliaan derajat dirimu didunia dan diakhirat, serta membuatmu semakin kuat dan berwibawa, sebab kekuatan hakiki itu bukan berarti bisa mengalahkan oranglain, namun bisa menahan diri ketika datangnya amarah.
Tidak diragukan lagi ,bahwa dua sifat terpuji ini (menahan amarah dan memaafkan) sangat dicintai oleh Allah ta’ala, sebagaimana pujian Rasulullah terhadap seorang sahabatnya ;
«إن فيك خصلتين يحبهما الله ورسوله الحلم والأناة»
Artinya ; “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah ; Sifat menahan amarah dan sabar”.7
Memaafkan : Mendatangkan Ampunan Allah Dan Tanda Sifat Taqwa
Saudaraku, tidakkah engkau senang jika semua dosa-dosamu diampuni oleh Allah ta’ala dengan sebab memaafkan oranglain ? Allah telah menyerumu ;
وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ٢٢
Artinya ; ” dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “.(QS An-Nur ; 22)
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar menganugrahkan sifat pemaaf ini dalam sikap dan lisan kita. Saudaraku, ingatlah firman Allah yang menyifati orang-orang pemaaf sebagai orang yang bertakwa ;
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
Artinya ; “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS Ali Imran ; 134)
Juga firman-Nya ;
وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ ٤٣
Artinya ; ” Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan “.(QS Asy-Syura ; 43)
Sungguh indah ucapan sang penyair ;
وإني لأعفو عن ذنوبٍ كثيرةٍ ** وفي دونها قطع الحبيب المواصل
وأحلم عن ذي الذنب حتى كأنني** جهلت الذي يأتي ولست بجاهل
Sungguh, Aku mengampuni banyak dosa…Syaratnya tidaklah memutuskan hubungan sang sahabat…
Sungguh Aku menahan amarah dari para pendosa.. hingga diriku seakan tidak pernah tahu tentangnya, padahal aku sangat mengetahuinya…8
Orang yang berakal lagi cerdas adalah yang sadar terhadap adanya kesalahan orang lain terhadap dirinya namun ia sengaja tidak menghiraukan dan mempermasalahkannya, sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi’i rahimahullah ; “Ketahuilah wahai saudaraku tercinta, bagaimanapun juga seorang insan pasti mendapatkan celaan dan rasa sakit dari selainnya baik dalam bentuk perbuatan atau ucapan, jika insan terbaik dan penghulu semua manusia (Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam) telah disakiti dengan dua hal ini, lalu bagaimanakah keadaan selain beliau, dikatakan dalam syair ;
ولا ترج شيئاً خالصاً نفعه** فالغيث لا يخلو من الغثاء
Jangan terlalu mengharap yang mulus-mulus
Sebab hujanpun tak kan terlepas dari buih… 9
Sikap Saling Memaafkan : Hak Sesama Muslim
Suatu hal yang maklum bahwa diantara hak-hak sesama saudara seiman adalah harus saling memaafkan kesalahan , dan menerima uzur dan alasannya. Ibnul Muflih rahimahullah berkata ; “Diantara hak muslim atas muslim lainnya adalah menutup aib-aibnya, memaafkan kesalahannya, mengasihaninya ketika bersedih,bersikap masa bodoh terhadap ketergelincirannya dan menerima uzurnya”.10
Hak-hak ini adalah hubungan antara sesama muslim, lalu bagaimanakah jika kedua muslim tersebut saling bersaudara kandung ? Sungguh lebih wajib lagi.
Al-’Allaamah Abdul’Aziz bin Baaz rahimahullah juga berkata ; “Sikap memaafkan hukumnya adalah sunat, karena seseorang dibolehkan untuk mengambil haknya dari orang yang menzaliminya jika ada maslahat didalamnya”.11
Oleh Ustadz Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)

1 .Disadur dari tulisan Syaikh Badr Al Mahmud –rahimahullah-.
2 .Ucapan beliau ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi 4/363 (2005) dengan sanad hasan.
3 .Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab
4 .HR Ahmad (17468) ,dan (1789), Al-Hakim (4/161), Al-Baghawi (3443) dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dari hadis Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu . Dalam Musnad Ahmad hadis ini diriwayatkan dengan dua sanad, salah satunya jayid (kuat), Dalam Al-Majma’ (8/188) Al-Haitsami berkata ; “Salah satu dari dua sanad riwayat Ahmad ; semua rawinya tsiqah”. Maksud beliau adalah jalur sanad Ibnu ‘Ayyasy dari Usaid bin AbdurRahman dari Farwah dari Mujahid dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu. Hadis ini juga memiliki syawahid (hadis-hadis penguat) dari hadis Ali, Ubadah ,Ka’ab bin ‘Ujrah dan selain mereka.
5 .HR Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab, dalam sanadnya terdapat inqitha’ /terputus antara Al-Hasan dan Abu Hurairah, Dalam Al-Ihya’ (2/1758) Al-’Iraqi berkata ; “bahwasanya hadis ini merupakan riwayat Hasan dari Abu Hurairah, dan Hasan belum mendengar dari beliau”. Namun hadis ‘Uqbah sebelumnya menguatkan dan mendukung makna hadis ini, sehingga hadis ini derajatnya menjadi hasan (lighairihi).
6 .HR Bukhari secara mu’allaq (1444) dan sanadnya disambung oleh Ibnu jarir dalam tafsirnya (11/30544), Al-baihaqi dalam Al-Kubra (7/45) dan dinukil oleh Ash-Suyuthi dalam Ad-Dur Al-Mantsur (7/327) dan disebutkan juga Al-Baghawi dalam tafsirnya (4/102), dan juga Ali bin Abi Thalhah dalam Shahifahnya (439),. Yang shahih dari atsar ini adalah bahwasanya derajatnya mursal/terputus sanadnya dari Ibnu Abbas, karena Ali bin Abi Thalhah tidak mendengar Ibnu Abbas. Ibnu Ad-Duhaim berkata ; “Ia belum mendengar tafsir dari Ibnu Abbas”, Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat berkata ; “ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas namun ia belum pernah melihatnya’. Dalam sanad ini terdapat kritikan ringan dari sebagian ahli ilmu, namun tidak mendhoifkannya, namun atsar ini memiliki sisi dhoif lain yaitu ; 1.Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shalih Al-Juhani, Kaatib Al-Laits, Imam Ahma berkata ; “Dulu pada awalnya ia berpegangteguh dengan sunnah, namun kemudian tidak diakhir umurnya, dan ia tidaklah tsiqah”. Dulu beliau mencela dan membencinya. Imam An-Nasai juga berkata ; “ia tidak tsiqah”, Abu Ahmad Al-Hakim berkata ; “ia dzaahibul-hadits “( maksudnya hadisnya tidak bisa diterima), Ibnu Hibban berkata ; “Munkar sekali, ia merwayatkan dari para tsiqah hadis-hadis yang bukan dari riwayatnya para tsiqah,”. Al-Hafidz Ibnu hajar dalam At-taqrib (2/3399) berkata ; “Shoduq, banyak memiliki kesalahan, tsiqah pada kitabnya namun ia memilki beberapa kelalaian”.
2.Dalam sanadnya terdapat Muawiyah bin Shalih Al-hadhrami, dalam At-Taqrib 2/6186 ; “shoduq namun memiliki beberapa kesalahan”.
7 .HR Muslim ; 126 , 1/36
8 .Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah ; 1/311
9 .Idem.
10 .idem ; 1/305
11 .Dari Syarah beliau atas Kitab Riyadhish-Sholihin.

Sumber : Maafkanlah Saudaramu | Wahdah Islamiyah http://wahdah.or.id/maafkanlah-saudaramu/#ixzz3FeXhMLW0

Praktik Riba Merajalela

PRAKTIK RIBA MERAJALELA

Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA


PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa, sampai-sampai diyakini sebgai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia. Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi. Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai propaganda manisnya.

PRAKTIK PERTAMA : KREDIT SEGITIGA
Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka. Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.
Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian. Sebagai buktinya :

• Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama.
• Bahkan barang juga tidak berpindah tempat dari penjual pertama
• Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab.
• Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : وَأَخسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik riba.

قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ : كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ : ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأ

Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?” Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

PRAKTIK KEDUA : PERGADAIAN
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba” [1]

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah bahwa :

لاَ يَغلِقُ الرَّهْنُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِى رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]

PRAKTEK KETIGA : MENGAITKAN NILAI PIUTANG DENGAN HARGA BARANG
Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp. 1000.000 lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula. Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nomnal yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba, berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau membutuhkan kepada uluran tangan. Adapun balasan atas uluran tangan ini hanyalah diminta dari Allah Ta’ala semata.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الذُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِىعَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Riwayat Muslim hadits no. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat. Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

PRAKTEK KEEMPAT : TUKAR TAMBAH EMAS
Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas. Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini termasuk riba fadhal yang diharamkan pada hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

"Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu, penjual bisa membeli emas baru anda. Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

اسْتَعْمَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرِجُنَيْبٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا ؟ )) فَقَالَ :لاَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ، وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلاَثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((فَلاَ تَفْعَلْ, بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جُنَيْبًا)) وَفِي رِوَايَةٍ : قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((أَوَّهْ عَيْنَ الرِّبَا، لاَ تَفْعَلْ، وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ التَّمْرَ فَبِعْهُ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menunjuk seseorang menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik. Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya), dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh (itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil penjualannya belilah kurma yang bagus” [Riwayat Bukhari hadits no 2089 dan Muslim hadits no. 1593]

PRAKTIK KELIMA : JUAL BELI EMAS ONLINE
Kemajuan dunia iformatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih, perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَداً بِيَدٍ، فَمَنْ زَادَ أَوْ ا سْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُغطِي فِيْهِ سَوَاء

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima dan pemberi dosanya sama” [Riwayat Muslim hadits no. 1584]

PRAKTIK KEENAM : KARTU KREDIT
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi ritel[2] dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.

Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat –sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan anda.

PRKATIK KETUJUH : SUKUK
Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi –sehingga banyak umat Islam yang terperdaya- ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten[3] kepada pemegang obligasi syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset (misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B yang berperan sebagai emiten. Dan pada akad penjualan disepakati pula :

• Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut setelah jangka waktu tertentu (10 tahun –misalnya)
• Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut selawam waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan bagi-hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa :

Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah, sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut berjalan lancar.

Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset yang bersangkutan[4]

Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah. Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan), merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian kembali kepada agama kalian” [5]

Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku di pasar pada saat pembelian dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan.

PENUTUP
Apa yang dipaparkan di sini hanyalah sebagian dari praktik-praktik riba yang banyak beredar di masyarakat. Masih banyak lagi praktik-praktik riba yang belum saya kemukakan di sini. Semoga apa yang dikemukakan disini dapat menjadi contoh bagi anda sehingga anda semakin waspada terhadap berbagai perangkap riba. Pada akhirnya, saran dan kritik dari anda sangat saya nantikan, semoga Allah Ta’ala senantiasa menambahkan ilmu yang bermanfaat dan memudahkan amal shalih bagi kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam bish-shawab.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 2, Tahun ke-II/Syawal 1432 (Sept-Okt 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1]. Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi : 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah : 4/211 dan 213, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah : 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumti : 108-109, dan lain-lain
[2]. Ritel atau retail/retail ialah usaha bersama dalam bidang perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir (lihat Kamus Bahasa Indonesia – BSE http://bse.kemdiknas.go.id/)
[3]. Emiten badan usaha (pemerintah) yang mengeluarkan kertas berharga untuk diperjualbelikan (lihat KBBI Daring – http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/ di akses pada 12 Juli 2011)
[4]. Disarikan dari http://www.managementfile.com/coulum.php?sub=bondsmutual&id=1278&page=bondsmutual&awal=20
[5]. Riwayat Ahmad : 2/42, Abu Dawud hadits no. 3464, dan dinyatakan shahih oleh al-Albani, dalam Silsilah al-Hadits ash-Shahihah hadits no. 11




Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


e. Pembatal-Pembatal Wudhu
1. Semua yang keluar dari dua jalan "qubul dan dubur (kemaluan dan anus)". Baik air seni, kotoran (tinja), atau angin.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ

“... atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus)...” [Al-Maa-idah: 6].

Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.

Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

"Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu"

Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, "Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?" Dia menjawab, "Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak." [1]

Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:

Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, "Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau berkata:

ِاغْسِلْ ذََكََرَكَ أَوْ مُذَاكِيْرَكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ.

‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat'."

2. Tidur nyenyak
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas lantai ataupun tidak.

Dasarnya adalah hadits Shafwan bin 'Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur."
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan buang hajat. [2]

Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.

"Mata adalah wikaa'nya sah. Barangsiapa tertidur hendaklah berwudhu'."[3]

Al-Wikaa,' dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum dari kulit.

As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan serta tidak bertasydid, yaitu dubur.

Artinya, keadaan jaga adalah wikaa'-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan apa yang keluar darinya. [4]

3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.

4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan syahwat. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

"Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu." [5]

Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

هَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْكَ.

"Ia tidak lebih dari salah satu anggota tubuhmu." [6]

Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka dalam keadaan seperti itu tidak diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas, sebagaimana Anda lihat. [7]

5. Makan daging unta
Berdasarkan hadits al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ، وَلاَ تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ.

"Berwudhulah karena (makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan) daging kambing." [8]

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging kambing?" Beliau menjawab, "Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak, maka janganlah berwudhu." Dia berkata lagi: "Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging unta?" Beliau menjawab: "Ya, berwudhulah karena (makan) daging unta."[9]

f. Hal-hal yang mewajibkan wudhu (hal-hal yang diharamkan atas orang yang berhadats):
1. Shalat
Berdasarkan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat, maka basuhlah mukamu...” [Al-Maa-idah: 6]

Dan sabda Nabi Shalalllahu 'alaihi wa sallam :

"لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍِ."

"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu)".

2. Thawaf di Baitullah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ، إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيْهِ الْكَلاَمَ.

"Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di dalamnya." [10]

g. Hal-hal yang disunnahkan wudhu di dalamnya:
1. Berdzikir kepada Allah
Berdasarkan hadits al-Muhajir bin Qunfudz. Dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sedang berwudhu. Beliau tidak menjawab salamnya hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu menjawabnya dan berkata:

إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ.

"Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawabmu. Hanya saja aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci." [11]

2. Ketika hendak tidur
Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu anhu. Dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian tidurlah di atas sisi kananmu, lalu ucapkan:

اَللّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، اَللّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.

"Ya Allah, kuserahkan jiwaku pada-Mu, dan kuhadapkan wajahku pada-Mu. Kupasrahkan urusanku pada-Mu, dan ku-sandarkan punggungku pada-Mu, dengan harap dan cemas kapada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan. Dan Nabi-Mu yang Engkau utus."

Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam keadaan fithrah. Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu."[12]

3. Junub
Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima'.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam junub dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat." [13]

Dan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan, minum, atau tidur untuk berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat." [14]

Juga dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Jika salah seorang di antara kalian telah mendatangi isterinya (berjima’) dan ingin mengulangi, maka hendaklah ia berwudhu." [15]

4. Sebelum mandi, baik mandi wajib maupun sunnah
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian beliau kucurkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya, lantas membasuh kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [16]

5. Makan makanan yang tersentuh api
Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ.

"Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api'." [17]

Perintah ini mengandung makna sunnah. Berdasarkan hadits 'Amr bin Umayyah adh-Dhamri, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiris paha kambing. Beliau kemudian makan sebagian darinya lalu mengumandangkan seruan untuk shalat. Beliau berdiri dan meletakkan pisau lantas shalat dan tidak berwudhu." [18]

6. Setiap shalat
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari penaklukan (Makkah) beliau berwudhu dan mengusap sepatunya lalu melakukan semua shalat dengan satu wudhu.” ‘Umar berkata padanya, “Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan.” Beliau berkata, “Aku sengaja melakukannya, hai ‘Umar.” [19]

7. Tiap kali berhadats
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu pagi hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil Bilal dan berkata, 'Wahai Bilal, dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin malam aku masuk Surga dan kudengar suara gerakanmu di depanku'. Bilal berkata, "Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua raka'at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.' Rasulullah j berkata, 'Karena inilah'."[20]

8. Muntah
Berdasarkan hadits Ma'dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda', dia menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah muntah, kemudian berbuka dan berwudhu. Lalu kutemui Tsauban di masjid Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu berkata, “Benar. Akulah yang menuangkan air wudhu beliau'." [21]

9. Membawa mayit
berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ غَسَّلَ مَيْتاً فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

"Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa membawanya, maka hendaklah berwudhu." [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/234 no. 135)], al-Baihaqi (I/117), Ahmad (al-Fat-hur Rabbanii) (II/75 no. 352), lafazh hadits pada perawi lain tanpa tambahan, Shahiih Muslim (I/204 no. 225), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/87 no. 60), dan Sunan at-Tirmidzi (I/150 no. 76).
[2]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 123)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 69), dan Sunan an-Nasa-i (I/84).
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 386)], Sunan Ibni Majah (I/161 no. 477), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/347 no. 200) dengan lafazh serupa.
[4]. Nailuul Authaar (I/242).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 388)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/307 no. 179), Sunan Ibni Majah (I/161 no. 479), Sunan an-Nasa-i (I/100), dan Sunan at-Tirmidzi (I/55 no. 82), dengan tambahan: “فَلاَ يُصَلِّ (maka janganlah ia shalat...)”
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 392)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/312 no. 180), Sunan Ibni Majah (I/163 no. 483), Sunan an-Nasa-i (I/101), dan Sunan at-Tirmidzi (I/56 no. 85)
[7]. Tamaamul Minnah (103).
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 401)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/315 no. 182), Sunan at-Tirmidzi (I/54 no. 81), dan Sunan Ibni Majah (I/166 no. 494), secara ringkas.
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 146)] dan Shahiih Muslim (I/275 no. 360).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3954)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 217 no. 967).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 280)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/34 no. 17), Sunan Ibni Majah (I/126 no. 350), dan Sunan an-Nasa-i (I/37), dengan riwayat yang tidak marfu'.
[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/109 no. 6311)] dan Shahiih Muslim (IV/2081 no. 2710).
[13]. Shahih: [Mukhtasahar Shahiih Muslim (no. 162)], Shahiih Muslim (I/248 no. 305 (22)), Sunan an-Nasa-i (I/138), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/374 no. 221).
[14]. Shahih: [Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/375 no. 222).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 263)], Shahiih Muslim (I/249 no. 308), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/371 no. 217), Sunan at-Tirmidzi (I/94 no. 141), Sunan an-Nasa-i (I/142), dan Sunan Ibni Majah (I/193 no. 587).
[16]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 155)] dan Shahiih Muslim (I/253 no. 316).
[17]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 147)], Shahiih Muslim (I/272 no. 352), Sunan an-Nasa-i (I/105).
[18]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 148)], Shahiih Muslim (I/274 no. 355 (93)), ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/311 no. 208).
[19]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 142)], Shahiih Muslim (I/232 no. 277), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/292 no. 171), Sunan at-Tirmidzi (I/42 no. 61), dan Sunan an-Nasa-i (I/86).
[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7894)] dan Sunan at-Tirmidzi (V/ 282 no. 3772).
[21]. Sanadnya Shahih: [Tamaamul Minnah, hal. 111], Sunan at-Tirmidzi (I/58 no. 87), dan Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (VII/8 no. 2364), tanpa lafazh: “فَتَوَضَّأْ (maka berwudhulah)."
[22]. Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 53)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/145 no. 486), Shahiih Ibni Hibban (191/751), al-Baihaqi (I/300), dan Sunan at-Tirmidzi (II/231 no. 998), dengan maknanya.
Secara sepintas, perintah tersebut mengandung arti wajib. Hanya saja, kita tidak mengatakannya demikian karena adanya hadits Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian memandikan mayit kalian, maka tidak wajib bagi kalian untuk mandi. Karena mayit kalian tidaklah najis. Cukuplah kalian mem-basuh kedua tangan kalian." Diriwayatkan dalam kitab Mustadrak al-Hakim (I/386), al-Baihaqi (III/398). Dinukil dengan pengubahan dari Ahkaamul Janaa-iz karya Syaikh al-Albani, hal. 53.


Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2708/slash/0/amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-hukum-islam/Oleh Ustadz Kholid Syamhudi


Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". [Ali Imron :110]

Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[At-Taubah:71]

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,"Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa.

يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24]

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ

"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim". [Al-Baqarah:246]

Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [1]

Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam. Dia menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung". [Al- A'raaf : 157).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Al-Imron:104]

Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.

HUKUM AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR [2]
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.

Dalil Al Qur'an
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung".[Al-Imran:104].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,"Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini".[3]

Dan firman-Nya.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah". [Al-Imran :110].

Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya".[4]

Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

"Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman". [Riwayat Muslim].

Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:

1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, "Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[5]

2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,"Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya".[6]

3. An-Nawawi berkata,"telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar" [7]
.
4. Asy-Syaukaniy berkata,"Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya".[8]

Jelaslah kewajiban umat ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.

DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR [9]
Amar ma'ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu 'ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.

Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu 'Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm .Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar'i, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu 'ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib 'ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:

مَا لاَ يَتِمُّّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". [Ali Imran :110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan syarat bergabung dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma'ruf nahi mungkar dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu 'ain. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." [Fushilat :33]

Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu 'ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya"

Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma'ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash [12] , Al-Mawardiy, Abu Ya'la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy [13], Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-Syathibiy [17] dan Asy-Syaukaniy [18].

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.

Imam Al Jashash menyatakan,"Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban".[19]

Ibnu Qudamah berkata,"Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma'ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain".[20]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". [At-Taubah : 122]

Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.

Syeikh Abdurrahman As Sa'diy menyatakan,"Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya"[21]

3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari'at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema'rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ

"(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan". [QS. 22:41]

Imam Al Qurthubiy berkata,"Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya"[22]

Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah" [23]

Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.

Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu 'ain. Karena pelaku fardhu 'ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu 'ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.

Pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih. Wallahu a'lam.

Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu 'ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :

Pertama : Ditugaskan oleh pemerintah.
Al Mawardi menyatakan,"Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu 'ain dengan perintah penguasa".[24]

Kedua : Hanya dia yang mengetahui kema'rufan dan kemungkaran yang terjadi.
An Nawawiy berkata,"Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu 'ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia".[25]

Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain bagi mereka.

An Nawawi berkata,"Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema'rufan".[26]

Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, "Ketika sedikitnya para da'i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu 'ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya".[27]

Demikianlah amar makruf nahi mungkar dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini mendorong kita untuk melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma'ruf wan Nahyi ‘Anil Mungkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan, Solo.
[2]. Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan Makalah Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi Anil Mungkar Bainal Ifraath
[3]. Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405
[4]. Lihat Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453
[5]. Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil Milal Wan Nihal, 5/19.
[6]. Al-Jashash, Ahkamul Qur'an , 2/486
[7]. An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22.
[8]. Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450.
[9]. Disarikan dari buku Hakikat Al-Amr Bil Ma'ruf wan-Nahi ‘Anil Mungkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan.
[10]. Lihat tafsir Al-Quran Al-Karim karya Ibnu Katsir 1/390
[11]. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 10/505.
[12]. Al Jashosh, Ahkamul Qur'an, 2/29
[13]. Al Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165.
[14]. Ibnu Qudamah, Mukhtashor Minhajul Qashidiin, hal.156.
[15]. An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[16]. Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma'ruf wan Nahi ‘Anil Mungkar , hal.37.
[17]. Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy Syari'at, 1/126
[18]. Asy Syaukaiy, Fathul Qadir, 1/450.
[19]. Al Jashash, Ahkamul Qur'an, 2/29.
[20]. Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal 156.
[21]. As Sa'diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315, lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, hal. 43.
[22]. Al Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 4/165.
[23]. Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Mungkar, hal.37.
[24]. Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar hal.50.
[25]. An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23.
[26]. ibid
[27]. Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila Allah wa Akhlaqud Du'at, hal. 16


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/2447/slash/0/cara-menasehati-orang-yang-terang-terangan-melakukan-kemaksiatan/

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sepucuk surat berasal dari Kuwait, dikirim oleh seseorang yang mengeluhkan saudaranya, ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati, tapi malah semakin terang-terangan. Pengirim surat mengharap bimbingan mengenai masalah ini.

Jawaban
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." [Al-Ma'idah : 2]

Dan ayat,

“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." [Al-'Ashr : l-3]

Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,

“Agama adalah nasehat." Ditanyakan kepada beliau, "Kepada siapa ya Rasulullah?" beliau jawab, "Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya."[1]

Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran. Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkaran sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." [At-Taubah : 71]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."[2]

Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatan, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya. Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut, untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat. Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya. Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 343-344, Syaikh ibnu Baz]

APA YANG DIMAKSUD DENGAN HIKMAH?

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa yang dimaksud dengan hikmah? Dan bagaimana seorang muslim bisa menyandangnya?

Jawaban
Hikmah adalah keselarasan dalam bersikap dan menetapkan. Kesalahan bersikap berarti bertolak belakang dengan hikmah. Karena itu, sebagian dai yang berdakwah tanpa hikmah, ketika melihat seseorang yang dinilainya mungkar, ia akan menjelekkannya dan meneriakinya. Contohnya: Ketika melihat seseorang masuk masjid lalu langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid lebih dulu, ia akan meneriakinya. Demikian yang tanpa hikmah. Tapi yang dengan hikmah, tidak akan begitu. la akan menjelaskannya kepada orang tersebut dan menguraikan haditsnya. Demikian juga yang dilakukan dalam perkara-perkara yang wajib dan yang haram serta lainnya.

Dan begitu pula dalam sikap-sikap khusus yang berhubungan dengan manusia, seperti dalam bidang keuangan, harus pula dengan hikmah. Berapa banyak orang yang boros dan berhutang hanya untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak.

PENJELASAN AYAT (TIADALAH ORANG YANG SESAT ITU AKAN MEMBERI MUDHARAT KEPADAMU APABILA KAMU TELAH MENDAPAT PETUNJUK)


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dikatakan kepada seseorang, "Kenapa anda tidak merubah kemungkaran ini?" atau "Kenapa anda tidak menasehati keluarga anda untuk meninggalkan kemungkaran ini?" lalu orang tersebut menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah : 105]

Bagaimana jawaban Syaikh?

Jawaban
Ayat ini adalah ayat muhkamah, ayat ini tidak dihapus hukumnya, namun orang yang berdalih dengan ayat ini telah salah faham. Dalam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah: 105]

Di antara petunjuk itu adalah menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran sesuai kesanggupan. Jika meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar tidak disebut telah berpetunjuk, karena jika telah tampak kemungkaran pada suatu kaum lalu ia tidak berusaha merubahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksaan secara umum yang menimpa semua orang (yang baik dan yang buruk).

[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 33 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________
Footnotes
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (55). Al-Bukhari mengomentarinya pada kitab Al-Iman.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab Al-Iman (49).


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Jika ditanyakan: Bagaimana (penjelasan mengenai) Allah menghendaki suatu perkara, dan dalam waktu yang sama Dia tidak meridhainya dan tidak menyukainya? Bagaimana mengompromikan antara kehendak-Nya kepada hal tersebut dan kebencian-Nya?

Jawabannya: Apa yang dikehendaki itu ada dua macam: apa yang memang dikehendaki dan apa yang dikehendaki untuk selainnya. Apa yang memang dikehendaki, maka itulah yang dituju lagi dicintai, dan di dalamnya mengandung kebaikan. Inilah yang dimaksud dengan iraadatul ghaayah wal maqaashid (tujuan yang dikehendaki). Sedangkan apa yang dikehendaki untuk selainnya, adakalanya bukan tujuan yang dikehendaki-Nya dan tidak ada kemaslahatan di dalamnya, apabila melihat dzatnya -meskipun sebagai sarana menuju tujuan dan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini adalah tidak disukai oleh-Nya dari segi dzatnya, tetapi dikehendaki dari segi qadha'-Nya dan dihubungkannya kepada kehendak-Nya. Maka berhimpunlah dua perkara: kebencian-Nya dan kehendak-Nya, dan keduanya tidak saling bertentangan. Jadi, Dia tidak menyukai dari satu segi tapi menyukainya dari segi lainnya.

Ini adalah perkara yang sudah dimaklumi oleh manusia. (Contohnya) obat yang tidak disukai, baik rasa maupun baunya, jika manusia mengetahui bahwa di balik obat itu terletak kesembuhan-nya (dengan izin Allah), maka ia membencinya dari satu segi dan menyukainya dari segi yang lain. Jadi, ia tidak menyukainya dari segi kepahitan yang dirasakannya, namun ia menyukainya dari segi bahwa obat itu akan membawanya kepada apa yang disukainya (kesehatan).

Seperti itu juga mengenai anggota tubuh yang digerogoti penya-kit, jika ia tahu bahwa dengan mengamputasinya akan menyelamatkan tubuhnya. Juga seperti menempuh jarak yang berat, jika diketahui bahwa hal itu akan mengantarkan kepada apa yang dikehendakinya dan disukainya. Dan juga seperti orang yang melintasi gurun pasir yang tandus dan sunyi untuk menuju Baitul ‘Atiq (Baitullah/ Ka’bah).

Dari sini jelas bagi kita bahwa sesuatu itu apabila di dalamnya berhimpun dua perkara: dibenci dari satu sisi dan disukai dari sisi lainnya, maka keduanya tidak saling menafikan. Ini adalah dalam urusan makhluk, lalu bagaimana halnya dengan al-Khaliq Yang tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu yang tersembunyi dan Yang mempunyai hikmah yang mendalam? Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai sesuatu, dan itu tidak kontradiksi dengan kehendak-Nya kepadanya, karena adanya tujuan yang lain, dan karena hal itu menjadi sebab menuju perkara yang disukai.

Saya tunjukkan kepadamu sebagian contoh atas hal itu:

CONTOH PERTAMA : PENCIPTAAN IBLIS DAN HIKMAH DARI PENCIPTAAN TERSEBUT.
Allah Azza wa Jalla menciptakan iblis yang merupakan materi perusak yang melakukan segala kerusakan di muka bumi ini, dalam agama, keyakinan, syahwat, dan syubhat. Ia adalah penyebab kesengsaraan para hamba dan perbuatan mereka yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Kendati itu semua, ia adalah sarana menuju berbagai perkara yang dicintai dan berbagai hikmah yang besar.

Sebelum membicarakan tentang hikmah-hikmah tersebut kami perlu mengingatkan tentang perkara yang penting. Yaitu, bukan suatu keharusan bagi orang yang menetapkan alasan perbuatan-perbuatan Allah dengan adanya berbagai hikmah dan kemaslahatan, mengetahui alasan semua perbuatan dan perintah-Nya. Bahkan, dia harus meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak memperlihatkan kepada makhluk-Nya semua hikmah-Nya, tetapi memberitahukan kepada mereka apa yang dikehendaki-Nya, dan apa yang disembunyikan dari mereka lebih banyak dari apa yang mereka ketahui. Oleh karena itu, setiap muslim wajib meyakini bahwa perbuatan-perbuatan Allah dan perintah-perintah-Nya tidak kosong dari berbagai hikmah yang agung yang mencengangkan akal, meskipun tidak diketahui secara terperinci, karena ketidakadaan ilmu tentang sesuatu bukanlah sebagai dalil atas ketidakadaannya. Kedokteran –misalnya- dan operasi bedah, tidaklah diketahui kecuali oleh orang-orang khusus. Demikian pula arsitektur dan selainnya. Ketidakadaan ilmu pada selain mereka tentang perkara tersebut bukanlah menunjukkan atas ketidakadaannya.

Jika keterangan ini sudah memuaskan, maka saya tunjukkan kepada Anda tentang sebagian hikmah yang dikumpulkan para ulama, mengenai hikmah dari penciptaan iblis:

1. Agar tampak kepada para hamba kekuasaan Rabb Ta’ala dalam menciptakan hal-hal yang berlawanan.
Dia menciptakan zat ini -iblis- yang merupakan dzat yang paling buruk dan penyebab segala keburukan, tapi Dia menciptakan -sebagai lawannya- Jibril, yang merupakan dzat yang paling mulia, paling suci, dan merupakan materi segala kebajikan. Mahasuci Allah yang menciptakan ini dan itu. Demikian pula kekuasaan-Nya tampak dalam penciptaan malam dan siang, panas dan dingin, air dan api, penyakit dan obat, kematian dan kehidupan, serta baik dan buruk. Sebab, sesuatu itu akan nampak keindahannya dengan lawannya. Dan ini adalah bukti paling kuat atas kesempurnaan kekuasaan, keperkasaan, dan kekuasaan-Nya. Dia menciptakan hal-hal yang berlawanan ini, mempertentangkan sebagiannya dengan yang lainnya, menguasakan sebagiannya atas sebagian yang lain, serta menjadikannya sebagai tempat tindakan, pengaturan, dan hikmah-Nya. Kekosongan wujud dari sebagiannya secara umum adalah dapat meniadakan hikmah, kesempurnaan tindakan, dan pengaturan kerajaan-Nya.

2. Agar Allah menyempurnakan tingkatan-tingkatan ‘ubudiyyah bagi para kekasih-Nya.
Yaitu dengan memerangi iblis dan bala tentaranya, membuatnya murka dengan cara mentaati Allah, memohon perlindungan kepada Allah darinya, dan berlindung kepada Allah untuk melindungi mereka darinya dan dari tipu dayanya. Akibat dari hal itu mereka mendapatkan berbagai kemaslahatan duniawi dan ukhrawi yang tidak akan diperoleh dengan tanpa hal itu.

Kemudian cinta, taubat, tawakkal, sabar, ridha dan sejenisnya adalah jenis-jenis ibadah yang paling dicintai Allah. Semua ini hanya dapat terealisir dengan jihad, mengorbankan jiwa, dan lebih men-cintai Allah Azza wa Jalla atas segala sesuatu selain-Nya. Maka penciptaan iblis adalah menjadi sebab adanya perkara-perkara ini.

3. Mendapatkan ujian.
Diciptakannya iblis adalah untuk menjadi ujian bagi manusia, agar dengannya menjadi jelas yang buruk dari yang baik.

4. Menunjukkan berbagai pengaruh Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsekuensi, dan keterkaitannya.
Di antara nama-Nya adalah ar-Raafi’ (Yang meninggikan derajat), al-Khaafidh (Yang merendahkan derajat), al-Mu’izz (Yang memuliakan), al-Mudzill (Yang menghinakan), al-Hakam (Yang Mahabijaksana), dan al-‘Adl (Yang Mahaadil).

Nama-nama ini memerlukan kaitan-kaitan yang di dalamnya hukum-hukumnya akan nampak. Dengan demikian, penciptaan iblis adalah faktor untuk menampakkan berbagai pengaruh nama-nama ini. Seandainya makhluk seluruhnya patuh dan beriman, niscaya berbagai pengaruh nama-nama ini tidak akan nampak.

5. Mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat manusia berupa kebaikan dan keburukan.
Tabiat manusia itu mencakup kebaikan dan keburukan, dan hal itu tersembunyi di dalamnya seperti api dalam sekam. Allah menciptakan syaitan untuk mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat pelaku keburukan, berupa potensi untuk berbuat, dan para Rasul diutus untuk mengeluarkan apa yang ada dalam tabiat pelaku kebaikan berupa potensi untuk berbuat. Kemudian Hakim Yang paling bijaksana (Allah) mengeluarkan apa yang terdapat dalam diri mereka, berupa kebaikan yang tersembunyi di dalamnya, agar pengaruh-pengaruh-Nya tampak padanya, dan mengeluarkan apa yang ada dalam diri mereka berupa keburukan, agar pengaruh-pengaruh dan hikmah-Nya tampak pada kedua golongan itu, dan juga hikmah-Nya terlaksana pada keduanya, serta nampaklah apa yang telah diketahui-Nya sebelumnya, yang selaras dengan ilmu-Nya yang terdahulu.

6. Menampakkan banyak tanda-tanda kekuasaan Allah dan keajaiban ciptaan-Nya.
Disebabkan kekafiran dan kejahatan dari jiwa-jiwa yang kafir serta zhalim, muncul banyak sekali tanda-tanda kekuasaan dan berbagai keajaiban, seperti badai, angin, kebinasaan kaum Tsamud dan Luth, berubahnya api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim (Alaihssallam), berbagai mukjizat yang ditampakkan Allah lewat tangan Nabi Musa (Alaihisallam), dan tanda-tanda kekuasaan lainnya. Seandainya bukan karena takdir kekafiran kaum kafir dan pengingkaran orang-orang yang ingkar, niscaya tanda-tanda kekuasaan yang luar biasa, yang dibicarakan oleh manusia, generasi demi ge-nerasi hingga akhir masa ini tidak pernah muncul.

Adapun, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menangguhkan iblis hingga hari Kia-mat, maka hal itu bukan penghormatan untuknya, tetapi penghinaan untuknya, agar dosanya bertambah, sehingga hukumannya semakin berat dan adzabnya berlipat ganda. Di samping itu, Allah menjadikannya sebagai ujian untuk memilah yang buruk dari yang baik -sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya- selama masih ada makhluk hingga hari Kiamat, maka hal ini menuntut terhadap keberadaannya, selagi manusia masih ada. Wallahu a’lam.

CONTOH KEDUA ; DICIPTAKANNYA MUSIBAH DAN KEPEDIHAN SERTA HIKMAH DARI HAL ITU
Demikian pula diciptakannya kepedihan dan musibah yang berisikan berbagai hikmah yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla, yaitu hikmah-hikmah yang berisikan karunia, keadilan, dan rahmat-Nya. Di antara hikmah-hikmah tersebut:

1. Melahirkan ‘ubudiyyah (ibadah) pada saat kesulitan, yaitu berupa kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"…Dan Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan." [Al-Anbiyaa'/21: 35]

Terhadap ujian (dari Allah) yang berupa kegembiraan dan kebaikan, maka harus disikapi dengan syukur, sedangkan terhadap ujian berupa kesusahan dan keburukan, haruslah disikapi kesabaran.

Semua ini tidak terjadi, kecuali bila Allah membalikkan keadaan atas para hamba, sehingga terlihatlah kejujuran pengabdian kepada Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ. إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

“Menakjubkan urusan orang yang beriman itu, sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi pada seorang pun kecuali pada orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya, dan jika ia mendapatkan kesusahan, ia bersabar, maka hal itu pun adalah baik baginya.”[2]

2. Kebersihan hati dan terbebas dari sifat-sifat yang buruk.
Sebab, sehat itu adakalanya mendorong kepada keburukan, kesombongan, dan kagum dengan diri sendiri, karena seseorang merasa giat, kuat, tentram keadaannya, dan hidupnya menyenang-kan.

Jika dibatasi dengan ujian dan sakit, maka jiwanya menangis, hatinya menjadi lembut, dan bersih dari noda-noda akhlak yang tercela serta sifat-sifat yang buruk, seperti sombong, congkak, ‘ujub (kagum dengan diri sendiri), dengki, dan sifat lainnya. Sebagai gantinya ialah ketundukan kepada Allah, menangis di hadapan-Nya, tawadhu’ (rendah hati) kepada manusia, dan tidak congkak terhadap mereka.

Al-Munbaji rahimahullah berkata, “Orang yang tertimpa musibah hendaknya mengetahui bahwa seandainya tidak ada ujian dunia dan berbagai musibahnya, niscaya manusia tertimpa penyakit sombong, ‘ujub, congkak, dan keras hati, yang merupakan sebab kebinasaannya, segera maupun tertunda. Di antara rahmat sebaik-baik Dzat Yang Maha Penyayang ialah, Dia memberikan kepadanya -kadangkala- berbagai macam obat berupa musibah, yang akan menjadi pelindung baginya dari penyakit-penyakit ini, memelihara kebenaran ibadahnya, serta mengenyahkan berbagai unsur yang merusak, hina, dan membinasakan. Mahasuci Allah yang memberi rahmat dengan ujian-Nya (berupa bencana), dan menguji dengan berbagai kenikmatan-Nya. Sebagaimana dikatakan:

Adakalanya Allah memberi nikmat dengan bencana, meskipun besar
dan Allah pun menguji pula sebagian kaum lainnya dengan ber-bagai kenikmatan

Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengobati hamba-hamba-Nya dengan obat berupa ujian dan cobaan, niscaya mereka melampaui batas, lalim, angkuh, congkak di muka bumi, dan membuat kerusakan. Karena di antara kebusukan jiwa, jika telah mendapatkan kekuasaan (memerintah dan melarang), kesehatan, peluang, dan bebas mengatakan apa saja tanpa ada penghalang syar’i yang menghalanginya, maka ia merajalela dan berjalan di muka bumi dengan membawa kerusakan, meskipun mereka mengetahui apa yang dialami orang-orang sebelum mereka, maka apa jadinya seandainya mereka -dengan perbuatannya itu- dibiarkan?

Tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, Dia meminumkan obat cobaan dan ujian menurut kadar keadaannya, yang akan mengeluarkan penyakit-penyakit berbahaya darinya. Sehingga ketika Dia telah membersihkan dan menjernihkannya, maka Dia menempatkannya pada derajat dunia yang paling mulia, yaitu beribadah kepada-Nya, dan menaikkan pada pahala akhirat yang tertinggi, yaitu melihat-Nya.[3]

3. Menguatkan orang yang beriman.
Sebab, musibah itu berisi latihan untuk orang mukmin, ujian bagi kesabarannya, dan menguatkan keimanannya.

4. Menyaksikan kekuasaan rububiyyah dan ketundukan ‘ubu-diyyah.
Karena seseorang tidak bisa lari dari Allah dan qadha'-Nya serta dari hikmah-Nya yang berlaku dan ujian-Nya. Kita adalah hamba Allah, Dia memperlakukan kita sebagaimana yang disukai dan dikehendaki-Nya, dan kita kembali kepada-Nya dalam segala urusan kita. Kepada-Nya tempat kembali, Yang mengumpulkan kita untuk kebangkitan kita.

5. Meraih keikhlasan dalam berdo’a dan kejujuran dalam bertaubat.
Sebab, musibah itu membuat manusia dapat merasakan kelemahan dan kefakiran dirinya dihadapan Rabb-nya. Kemudian hal itu mendorongnya kepada keikhlasan dalam berdo’a kepada-Nya, ketundukan yang sangat dan kebutuhan kepada-Nya serta jujur dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Seandainya bukan karena musibah-musibah ini, niscaya ia tidak pernah terlihat di depan pintu perlindungan dan kehinaan. Allah Azza wa Jalla mengetahui kelalaian manusia kepada-Nya, lalu Dia menguji mereka melalui nikmat-nikmat tersebut dengan berbagai gangguan yang mendorong mereka untuk menuju pintu-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya. Jadi, ini adalah kenikmatan yang terbungkus ujian. Sedangkan ujian yang murni ialah apa-apa yang melalaikanmu dari Rabb-mu.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Apa yang tidak disukai hamba adalah lebih baik baginya daripada apa yang disukainya. Karena apa yang tidak disukainya mendorongnya untuk berdo’a, sedangkan apa yang disukainya akan melenakannya.”[4]

6. Menyadarkan orang yang diuji dari kelalaiannya.
Betapa banyak orang yang diuji dengan hilangnya kesehatan, mendapatkan taubat yang menyelamatkan. Betapa banyak orang yang diuji dengan kehilangan hartanya, bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah dengan keadaannya yang lebih baik. Betapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya serta berpaling dari Rabb-nya, lalu mendapatkan ujian dari Rabb-nya, maka hal itu membangunkannya dari tidurnya, menyadarkannya dari kelalaiannya, dan memotifasinya untuk memperbaharui ke-adaannya bersama Rabb-nya.

7. Mengetahui nilai kesehatan.
Karena sesuatu itu tidak diketahui kecuali dengan lawannya, lalu dengan hal itu akan diperoleh rasa syukur yang menyebabkan bertambahnya kenikmatan, karena apa yang dikaruniakan Allah berupa kesehatan itu lebih sempurna, lebih menyenangkan, lebih banyak, dan lebih besar ketimbang ujian dan sakit yang dideritanya. Kemudian diperolehnya kesehatan dan kenikmatan, setelah kepedihan dan kesusahan itu adalah lebih besar nilainya bagi manusia.

8. Di antara kepedihan itu kadangkala ada yang menjadi faktor kesehatan.
Adakalanya seseorang tertimpa suatu penyakit dan ternyata itu menjadi sebab kesembuhan dari penyakit lainnya. Adakalanya seseorang mendapat suatu penyakit lalu ia pergi untuk mengobatinya, maka tersingkaplah bahwa ternyata dirinya mempunyai penyakit kronis yang tidak tersingkap, kecuali karena sebab penyakit yang datang tiba-tiba ini. Abu ath-Thayyib al-Mutanabbi berkata:
Mungkin kecacatanmu itu terpuji akibatnya
dan mungkin badan menjadi sehat dengan adanya penyakit

9. Diperolehnya belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah.
Orang yang diuji dengan suatu hal, ia akan mendapati dalam dirinya rasa belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah. Belas kasih ini menyebabkan belas kasih Allah dan karunia yang banyak. Sebab barangsiapa yang berbelas kasih kepada siapa yang berada di muka bumi ini, maka yang berada di langit (Allah dan para Malaikat) akan menyayanginya pula.

10. Memperoleh shalawat (keberkahan yang sempurna), rahmat, dan hidayah dari Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-Baqarah/2: 155-157]

11. Memperoleh pahala, dicatatnya amal-amal kebaikan, dan dihapusnya kesalahan-kesalahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ شَيْئٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ، حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيْبُهُ، إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ.

“Tidak ada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin, meskipun duri yang menusuknya, melainkan Allah mencatat baginya satu kebajikan karenanya atau menghapuskan satu kesalahan darinya karenanya.”[6]

Sebagian Salaf berkata, “Seandainya bukan karena musibah-musibah dunia, niscaya kita datang pada hari Kiamat dalam keadaan bangkrut yang hakiki.”[7]

Bahkan pahala tidak hanya dikhususkan untuk orang yang mendapatkan ujian semata, tetapi juga didapat oleh selainnya. Seorang dokter muslim ketika mengobati orang yang sakit dan diniatkan untuk mencari pahala, maka dituliskan pahala untuknya, dengan seizin Allah. Sebab, barangsiapa yang meringankan dari orang yang beriman suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan darinya suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari Kiamat.

Demikian pula orang yang mengunjungi orang yang sedang sakit, maka dituliskan pahala baginya, juga bagi orang yang mera-watnya.

12. Mengetahui tentang hinanya dunia.
Musibah terkecil yang menimpa manusia akan menjernihkan dirinya, memantapkan hidupnya, dan dapat membuatnya lupa akan kelezatan dunia. Orang yang pintar tidak akan tertipu dengan kenikmatan dunia, akan tetapi dia akan menjadikan dunia sebagai ladang bagi akhirat.

13. Pilihan Allah untuk hamba adalah lebih baik daripada pili-han hamba untuk dirinya.
Ini merupakan rahasia yang mengagumkan, yang sebaiknya hamba memahaminya. Hal itu karena Allah Azza wa Jalla adalah sebaik-baik Penyayang dan Hakim Yang paling bijaksana, Dia lebih tahu berbagai kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan lebih sayang kepada mereka dibandingkan diri mereka dan kedua orang tua mereka.

Jika datang kepada mereka sesuatu yang tidak mereka sukai, maka itu lebih baik bagi mereka dibandingkan bila tidak datang kepada mereka, sebagai bentuk perhatian dari-Nya, kebaikan, dan kasih sayang kepada mereka.

Seandainya mereka memungkinkan memilih untuk diri mereka, niscaya mereka tidak mampu melakukan hal-hal yang bermaslahat bagi mereka. Tetapi Allah Azza wa Jalla yang mengatur urusan mereka sesuai dengan ilmu, keadilan, hikmah, dan rahmat-Nya, baik mereka suka maupun tidak suka.

14. Manusia tidak mengetahui akibat urusannya.
Mungkin ia mencari sesuatu yang tidak terpuji akibatnya, dan mungkin ia tidak menyukai sesuatu yang bermanfaat baginya. Allah Azza wa Jalla lebih tahu tentang akibat suatu urusan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Qadha'-Nya bagi hamba yang beriman adalah karunia, meskipun dalam bentuk halangan, dan merupakan suatu kenikmatan, meskipun dalam bentuk ujian, serta ujian-Nya adalah keselamatan, meskipun dalam bentuk bencana.

Tetapi karena kebodohan hamba dan kezhalimannya, ia tidak menganggapnya sebagai anugerah, kenikmatan, dan keselamatan, kecuali apa yang dapat dinikmatinya dengan segera dan sesuai dengan tabiatnya.

Seandainya ia dikaruniai pengetahuan yang banyak, niscaya ia menilai halangan sebagai kenikmatan, dan bencana sebagai rahmat, serta ia merasakan ujian jauh lebih lezat dibandingkan dengan lezatnya keselamatan, merasakan kefakiran jauh lebih lezat dibandingkan kekayaan, dan dalam keadaan sedikit ia jauh lebih bersyukur dibandingkan dalam keadaan banyak.”[8]

15. Masuk dalam kelompok orang-orang yang dicintai Allah Azza wa Jalla.
Orang-orang beriman yang mendapatkan ujian akan masuk dalam rombongan orang-orang yang dicintai lagi dimuliakan dengan kecintaan Rabb semesta alam. Jika Dia mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Disebutkan dalam as-Sunnah (hadits), yang mengisyaratkan bahwa ujian itu bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَـمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَـمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.

“Sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya ujian, dan jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, maka dia mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang marah (tidak ridha), maka dia mendapatkan kemurkaan.”[9]

16. Sesuatu yang tidak disukai adakalanya mendatangkan se-suatu yang dicintai, begitu pula sebaliknya.
Jika pengetahuan hamba tentang Rabb-nya benar, maka ia mengetahui secara yakin bahwa hal-hal yang tidak disukai yang menimpanya dan berbagai ujian yang datang kepadanya itu berisikan berbagai kemaslahatan dan kemanfaatan yang tidak terhitung oleh ilmunya dan tidak diketahui semuanya oleh pikirannya.

Bahkan kemaslahatan hamba pada apa yang tidak disukainya lebih besar ketimbang pada apa yang disukainya, sebab kemaslahatan jiwa pada umumnya terletak dalam hal-hal yang tidak disukainya, sebagaimana halnya kemudharatannya dan sebab-sebab kehancurannya pada umumnya terletak dalam hal-hal yang disukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"…Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [An-Nisaa': 19]

Dia juga berfirman:

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Al-Baqarah/2: 216]

Jika hamba mengetahui bahwa perkara yang tidak disukai adakalanya mendatangkan hal yang dicintai, dan perkara yang dicintai adakalanya mendatangkan hal yang tidak disukai. Maka ia tidak merasa aman karena kesusahan bisa datang kepadanya dari sisi kesenangan, dan ia pun tidak berputus asa, karena kegembiraan bisa datang kepadanya dari sisi kesusahan.[10]

Dan hikmah-hikmah lainnya yang mungkin diketahui ataupun tidak diketahui manusia.

Dari sini, nampak jelas kepada kita bahwa tidak ada kontradiksi antara kehendak Allah kepada suatu perkara dengan kebencian-Nya kepadanya, karena Dia memiliki berbagai hikmah yang besar dan agung.

“Banyak manusia -bahkan kebanyakan mereka- yang berusaha menyingkap hikmah-hikmah Allah dalam segala sesuatu, tetapi hal tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka, bahkan mungkin merugikan mereka. Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu… ." [Al-Maa-idah: 101]

Masalah ini, yaitu masalah tujuan perbuatan-perbuatan Allah dan akhir dari hikmah (kebijaksanaan)-Nya adalah masalah yang besar, bahkan mungkin merupakan masalah ketuhanan yang paling agung.”

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “Pernyataan yang adil mengenai qadar ialah, hendaklah Anda mengetahui bahwa Allah itu Mahaadil. Tidak boleh bertanya, ‘Bagaimana Dia menciptakan?’ Bagaimana Dia menakdirkan? Bagaimana Dia memberi? Dan bagaimana Dia menghalangi? Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kekuasaan-Nya, tidak ada dalam kerajaan-Nya, yaitu langit dan bumi, melainkan apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada hutang bagi seorang pun atas-Nya, dan tidak ada hak bagi seorang pun sebelum-Nya. Jika Dia memberi, maka hal itu adalah dengan anugerah dan jika meng-halangi, maka hal itu adalah dengan keadilan.”[12]

Dengan ini menjadi jelas bagi kita tentang berkumpulnya dua perkara dalam hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu: kehendak-Nya kepada sesuatu disertai kebencian-Nya kepadanya, dan tidak ada kontradiksi dalam hal itu.

Demikianlah (pembahasan kita ini), dan akan ada tambahan penjelasan mengenai masalah ini dalam pembahasan berikutnya, ketika membicarakan tentang hikmah diciptakan dan ditakdirkannya kemaksiatan.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat perincian hal itu dalam Syifaa-ul-‘Aliil, hal. 364-412 dan 445-460. Lihat pula, Thariiqul Hijraatain, hal. 181-183, al-Fawaa-id, hal. 136-140, Muqaddimah Miftaah Daaris Sa’aadah, hal. 3 dan sesudahnya dari muqaddimah tersebut, Madaarijus Saalikiin, (I/264-269 dan II/190-198), Syarh al-‘Aqiidah at-Thahaa-wiyyah, hal. 252-256, al-Hikmah wat Ta’liil fii Af’aalillaah, hal. 205-210, dan Lawwaami’ul Anwaaril Bahiyyah, (I/339-343).
[2]. HR. Muslim, (no. 2999), dari hadits Shuhaib.
[3]. Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal. 25.
[4]. Al-Faraj Ba’da asy-Syiddah, Ibnu Abi Dunya, hal. 22.
[5]. Diiwaan al-Mutanabbi, (III/86).
[6]. HR. Muslim, (no. 2572).
[7]. Bardul Akbaad, hal. 46.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/215-216).
[9]. HR. At-Tirmidzi, (no. 2396) dan Ibnu Majah, (no. 4031), dari hadits Anas z, dihasankan oleh at-Tirmidzi juga al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi, (II/286).
[10]. Lihat perincian pembicaraan tentang hikmah-hikmah musibah dalam Shaidul Khaathir, Ibnul Jauzi, hal. 91-95, 213-215, dan 327-328, al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, dan 200-202, dan Bardul Akbaad, hal. 37-39.
[11]. Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/39), dan lihat dari buku yang sama, (I/46), Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/81), dan Ighaatsatul Lahfaan, Ibnul Qayyim, (II/187-195).
[12]. Al-Ikhtilaaf fil Lafzh, hal. 35, dan lihat, al-Inaabah ‘an Syari’atul Firqaah an-Naajiyah, Ibnu Baththah, (I/390

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE