Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Tauhid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tauhid. Tampilkan semua postingan
Bismillah ... Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Kita sudah mengetahui bagaimana sikap Islam ketika umat Nashrani merayakan natal. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, tidak boleh memberi ucapan selamat dan tidak boleh mendukung dalam hal apa pun dalam perayaan tersebut. Lantas bagaimana jika tetangga atau rekan kerja kita memberi kue, makanan atau hadiah yang berhubungan dengan perayaan natal? Apakah boleh kita terima dan menikmatinya?

Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Bolehkah seorang muslim memakan makanan dari perayaan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) ata dari perayaan orang musyrik di hari raya mereka atau menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka?”

Jawaban para ulama Lajnah, “Tidak boleh seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nashrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Karena jika kita menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka, itu termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syi’ar agama mereka. Hal itu pun termasuk mempromosikan ajaran mereka yang mengada-ada (baca: bid’ah) dan turut gembira dalam perayaan mereka. Seperti itu pun dapat dianggap menjadikan perayaan mereka menjadi perayaan kaum muslimin. Boleh jadi awalnya mereka ingin mengundang kita, namun diganti dengan yang lebih ringan yaitu dengan memberi makanan atau hadiah saat mereka berhari raya. Ini termasuk musibah dan ajaran agama yang mengada-ada (baca: bid’ah). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru yang bukan ajaran dari kami, maka amalannya tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana pula tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim yang berhubungan dengan perayaan mereka.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’no. 2882, pertanyaan kedua, 22: 398-399, ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]

Yang berkata terlarangnya menerima hadiah dan kue natal, bukanlah kami. Coba perhatikan, kami hanya menukil fatwa para ulama yang lebih berilmu dari kami dan lebih paham yang terbaik bagi umatnya ketika mereka mengeluarkan fatwa. Namun asal hadiah dan makanan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah halal, yang bermasalah adalah jika ada kaitan dengan perayaan mereka dengan tujuan untuk memuliakan hari raya mereka.

Hidayah hanyalah dari Allah, kami hanyalah menyampaikan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 1 Shafar 1433 H
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Inilah di antara prinsip akidah Islam yang mesti dipegang dan dianut setiap muslim. Namun sebagian orang masih tidak memahami ayat ini. Jika seorang muslim memahami ayat ini dengan benar, tentu ia akan menentang keras bentuk loyal pada orang kafir dan berlepas diri dari mereka. Bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang di antaranya dengan menghadiri perayaan mereka.

Allah Ta’ala berfirman,


قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾


“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)

 Makna Ayat

Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik secara terang-terangan bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada selain Allah yang mereka lakukan secara lahir dan batin. Surat tersebut berisi seruan bahwa orang musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah, yaitu mereka tidak beribadah murni hanya untuk Allah. Ibadah yang dilakukan orang musyrik dengan disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah. Kemudian ayat yang sama diulang kembali dalam surat tersebut. Yang pertama menunjukkan perbuatan yang dimaksud belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat yang telah ada (lazim). Lihat faedah tafsir surat Al Kafirun. Di akhir ayat Allah tutup dengan menyatakan,


لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ


“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Ayat ini semisal firman Allah Ta’ala,

 قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ



“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)


أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ


“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)


لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ



“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)

 Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’,

 “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 704)

Dalam Tafsir Al Bahr Al Muhith, Ibnu Hayyan menafsirkan, “Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku. Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”

Lakum diinukum wa liya diin juga bisa terdapat dua makna. Pertama, bagi kalian akidah kekufuran yang kalian anut, bagi kami akidah Islam. Kedua, karena diin bisa bermakna al jazaa’, yaitu hari pembalasan, maka artinya: bagi kalian balasan dan bagiku balasan. Demikian dijelaskan oleh Al Mawardi dan Muhammad Sayid Thonthowi dalam kitab tafsir keduanya.

Prinsip Seorang Muslim

Inilah prinsip yang sudah jelas diajarkan dalam akidah Islam. Agama ini mengajarkan tidak loyal atau berlepas diri dari orang kafir, dari peribadatan mereka, dari perayaan mereka dan dari berbagai hal yang menyangkut agama mereka. Loyal di sini tidak boleh ada, meskipun dengan bapak, ibu, saudara, kerabat atau teman karib kita. Di antara bentuk loyal pada orang kafir:

Pertama: Tasyabbuh dengan orang kafir, yaitu menyerupai pakaian dan adat yang menjadi ciri khas mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)

Beda halnya jika hal tersebut sudah tersebar di tengah kaum muslimin dan tidak ada dalil yang melarang serta tidak ada sangkut paut dengan agama, maka yang terakhir ini dibolehkan selama tidak lagi jadi ciri khas orang kafir.

Kedua: Turut serta dalam perayaan non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا


“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72)


Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas. Jadi, ayat di atas adalah pujian bagi orang yang tidak menghadiri perayaan orang non muslim. Ini berarti turut dalam perayaan tersebut adalah suatu perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483). Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim menghadiri perayaan natal, mengucapkan selamat natal pada orang nashrani, menghadiri perayaan natal bersama atau bahkan membantu mereka dalam melaksanakan perayaaan tersebut.

Dalam perayaan Natal, orang Nashrani mengingat-ingat akan kelahiran Yesus yang dinyatakan sebagai anak Allah. Padahal Allah sendiri menyatakan Dia tidak memiliki anak dan pernyataan seperti ini adalah suatu kekufuran. Allah Ta'ala berfirman,


وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا (89) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92) إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (93)

 “Dan mereka berkata: "Rabb Yang Maha Pemurah mempunyai anak". (88) Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (89) hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, (90) karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (91) Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (92) Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (93)” (QS. Maryam: 88-93). Secara tidak langsung turut dalam perayaan natal dan memberi ucapan selamat, berarti melegalkan Allah mempunyai anak.

Sungguh aneh jika seorang muslim masih menghadiri acara natal, padahal sudah jelas mereka (Nashrani) merayakan kekufuran. Dengan alasan toleransi apakah kita ingin mengorbankan akidah Islam kita? Dengan alasan karena tidak enak dengan tetangga, atasan, teman kerja, apakah kita berpaling dari ayat Allah? Apakah hanya karena alasan mereka telah memberi kita selamat Idul Fithri, kita jadi rela terjerumus dalam dosa? Simak haramnya seorang muslim mengucapkan selamat natal dan menghadiri perayaan natal di: Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal.

 Bentuk loyal pada orang kafir lainnya sudah dibahas di rumaysho.com: Bentuk loyal pada orang kafir. Sedangkan tafsir surat Al Kafirun juga sudah diulas: Faedah Tafsir Surat Al Kafirun. Tidak loyal tidak berarti kita mesti membunuh non muslim atau menyiksa atau menyengsarakan mereka, bahkan kita pun diperintahkan untuk berbuat baik kepada mereka selama tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau akidah kaum muslimin, Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.



@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 1 Shofar 1433 H
Ramalan Zodiak adalah hal mungkin selalu ditunggu-tunggu banyak remaja ataupun orang dewasa dari sebuah radio, Televisi atau Majalah bunyinya kira-kira seperti ini : 
Ramalan salah satu zodiak di tahun 2014:

Kehidupan cinta Anda terlalu menyenangkan tahun ini. Akan gampang  sekali berkomunikasi dengan si dia, tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan.

Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik. Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda.

Info-info semacam inilah yang menyebar di tengah-tengah pemuda dari jaman dulu sampai saat ini . Untuk menjalani tahun , mereka membaca nasib lewat ramalan bintang atau zodiak tersebut. Mereka ingin mencari tahu bagaimana nasib cinta mereka, bagaimana rizki mereka, dan bagaimana keberuntungan mereka di tahun yang akan datang . Padahal ajaran Islam sangat melarang keras hal ini, namun banyak yang tidak memahaminya karena tidak mau belajar akidah dan mengenal Islam lebih dalam.

Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya.

Jawaban beliau rahimahullah,

 Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik. Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ



“Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.”[1]



Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ

 “Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.”[2]


Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

 قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ



“Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah" (QS. An Naml: 65).



Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah.



(Dinukil dengan perubahan redaksi dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)



***



Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Kita berlindung kepada Allah semoga diri kita, anak-anak kita, kerabat-kerabat kita terbebas dari membaca dan mempercayai ramalan bintang, serta dijauhi segala bentuk perbuatan syirik. Jadikanlah satu-satunya sandaran dalam segala urusan adalah Allah Ta’ala semata,



وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ



“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.” (Al Jami’ Liahkamil Qur’an, 18: 161). Jika Allah jadi satu-satunya sandaran, maka rizki, jodoh, dan segala urusan akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala.



Ulasan lebih lengkap mengenai hukum membaca ramalan bintang telah dibahas oleh Rumaysho.com: Dosa Besar Akibat Membaca Ramalan Bintang.



إِنْ أُرِ‌يدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّـهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.


@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Shofar 1433 H


www.rumaysho.com


[1] HR. Abu Daud no. 3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.

 [2] HR. Al Bazzar dalam musnadnya.


Penulis Fathul Majid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Siapa saja yang menerjangi perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Bisa saja perkara yang dilakukan adalah kesyirikan seperti beranggapan sial. Bisa pula kekufuran seperti mempercayai tukang ramal dan melakukan sihir. Siapa saja yang ridho dan mengikuti hal-hal tadi, maka ia dihukumi seperti pelakunya karena ia menerima dan mengikuti hal yang batil.” (Fathul Majid, 316)
Golongan yang Masuk Surga Tanpa Hisab Dan Adzab[1]

عَنْ حُصَيْن بْنِ عَبْدِ الرَّ حْـمَنٍ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُـمَّ قُلتُ أَمَا إِنِّـي لَـمْ أَكُنْ فِـي صَلاَةٍ وَلَكِنِّـي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْـتَرْقَيْـتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِـيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمُ الشَّعْبِـيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ اْلأَسْلَمِـيِّ أَنَّهُ قَالَ لاَ رُقْيَةَ إِلاَّ مِنْ عَيْـنٍ أَوْ حُـمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَـنَ مَنِ انْتَهَى إِلَـى مَا سَـمِـعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَـيَّ اْلأُمَـمُ فَرَأَيْتُ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّهَيْطُ وَ النَّبِـيَّ وَ مَعَهُ الرَّجُلُ وَ الرَّجُلاَنِ وَ النَّبِـيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِـي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِـي فَقِيلَ لِـي هَذَا مُوسَـى عَلَيْهِ السَّلاَمَ وَ قَوْمُهُ وَ لَكِنِ انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي انْظُرْ إِلَـى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فإِذَا سَـوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِـي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَ مَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِـي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِـي اْلإِسْلاَمِ وَ لَـمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ وَ ذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَـخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَـخُوضُونَ فِـيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِـحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُـمَّ قَامَ رَجُلٌ آجَرُ فَقَالَ ادْعُ اللهَ أَنْ يَـجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِـهَا عُكَّاشَةُ
Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain
Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (An-Nahl: 36)
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah.

Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (Nuh: 1-3)
Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut:
“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Hud: 26)
Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam:
“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (Hud: 50)
Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam:
“Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Hud: 61)

Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam:
“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (Az-Zukhruf: 26-28)

Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:
“Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (Al-Maidah: 72)

Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah.
Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya,
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (Al-Jin: 20)

Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka).
Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya,
“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.

Makna Laa ilaaha illallah
Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya.
Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.
Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:
- لاَ (Laa)   : Tidak ada, atau tiada
- إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri.
Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermakna ma’bud (sesuatu yang diibadahi)
- إلاَّ (illa)   : kecuali, atau melainkan
- الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hak uluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.”
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله
“Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.”
Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)
Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilah juga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23)
Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu:
“Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.”
Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (Az-Zukhruf: 26)
Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah.

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalam ilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut.

Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah).

Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya.
            Wallahu a’lam bish shawab.
Tauhid merupakan inti ajaran semua Rasul. Allah memgharamkan untuk masuk Surga bagi orang yang mati dalam keadaan sebagai musyrik. Artikel ini memberikan dasar-dasar untuk memahami tauhid.

Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu......

Bahwasanya tauhid merupakan hal yang sangat penting, para Rasul diutus untuk mendakwahkan tauhid. Bahkan Allah mengharamkan masuk surga orang yang mati dalam keadaan sebagai musyrik.

Allah berfirman [artinya]: Sesungguhnya orang yang mempersekutukan [sesuatu dengan] Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (Al-Maidah:72)

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE