Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya. Tampilkan semua postingan
SOAL:
Assalamu’alaikum. Apakah boleh seorang janda tanpa anak memilih calon suaminya sendiri? Dan apakah boleh ia menikah dengan berwali hakim (ayahnya masih hidup) apabila orang tua tidak setuju dengan calon suaminya?
(Ummu V, Bumi Alloh, 085249xxxxxx)

JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.
Janda berhak memilih pasangan hidupnya bila pilihannya baik menurut agama Islam. Tapi bila pilihannya tidak baik menurut syari’at Islam, orang tua atau wali berhak melarangnya. Begitu pula orang tua tidak boleh memaksa putrinya yang janda menikah dengan pilihannya, apabila putri jandanya itu tidak menyenanginya.
Dari Khonsa’ binti Khidam al-Anshori berkata: Bahwa ayahnya menikahkannya dengan laki-laki yang tidak disenanginya sementara dia janda, lalu dia datang kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan pernikahannya. (HR. al-Bukhori 7/23)
Meskipun janda punya hak pilih, dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali yang sah. Dari Abu Huroiroh Radhiyallaahu ‘anhuRosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita yang lain, tidak boleh pula menikahkan dirinya sendiri. Sesungguhnya wanita pezina ialah yang menikahkan dirinya sendiri.” (Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Ibnu Majah 1/317)
Jika seorang janda menyenangi laki-laki yang menurutnya agamanya baik tapi orang tua tidak setuju, maka hendaknya dimusyawarahkan dengan keluarganya atau mengadukan perkaranya kepada wali hakim untuk segera diselesaikan. Wallohu a’lam.
Pengasuh : al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

SOAL:
Assalamu’alaikum. Ustadz, ana mau tanya. Apakah berdosa bila seorang istri menolak ajakan suami berjima’ karena sedang capai dan mengantuk, karena suami terlalu sering mengajak berjima’ sehingga memforsir tenaga istri? Mohon nasihat Ustadz. Syukron.
(Fulanah, Bumi Alloh, 08564754xxxx)

JAWAB:
Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Ukhti! suami yang selalu mengajak istrinya untuk berhubungan menunjukkan bahwa dia sayang kepadanya. Kebutuhan suami terhadap istri memang sangat besar sehingga hendaknya ukhti menyadari hal itu, apalagi wanita yang usianya masih muda setiap bulannya ada waktu haid, dan juga setelah melahirkan butuh ‘cuti’ dari suaminya selama kurang lebih 40 hari karena suami dilarang menggaulinya. Belum lagi bila istri sakit atau ada udzur lain, dan juga suami yang sering keluar rumah karena mencari nafkah dan sebab-sebab yang lainnya. Jika ukhti menolak permintaannya karena capai atau mengantuk, sedangkan suami hanya punya satu istri, maka kesalahan ada di pihak istri, karena suami tidak boleh melampiaskan kesenangannya kecuali kepada istri atau budaknya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 6.

(6). إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Selanjutnya bagaimana seharusnya istri bila diajak oleh suaminya. Perhatikan hadits di bawah ini.

Dari Tholqu bin Ali Rosululloh bersabda:
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul maka hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387, dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihut-Targhib: 2/199)

Dari Abu Huroiroh Rosululloh bersabda:
“Tidak halal bagi wanita berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhori: 16/199)
Dari Abu Huroiroh Rosululloh bersabda:

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, maka malaikat melaknatnya sampai waktu Shubuh.” (HR. Bukhori: 11/14)

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedang ruku’ lantas ia ruku’ bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah sholatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?



السؤال : إذا جاء الرجل للصلاة ووجد الإمام راكعًا وركع معه ولم يقرأ الفاتحة فما صحة هذه الصلاة . لأني سمعت بأنه لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب ؟


الجواب : من جاء والإمام في الركوع فإنه يكبر تكبيرة الإحرام وهو واقف ، ثم يكبر للركوع ويركع مع الإمام ويكون مدركًا للركعة ولا تلزمه قراءة الفاتحة في هذه الحالة ، لأنها فات محلها وصلاته صحيحة ؛ لأن محل قراءة الفاتحة هو القيام وقد فات ، فإذا أدرك الإمام راكعًا وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة وصلاته صحيحة إن شاء الله ، والدليل على ذلك أن أبا بكرة رضي الله عنه جاء والنبي صلى الله عليه وسلم في الركوع فدخل معه في الركوع ، ولم يأمره النبي صلى الله عليه وسلم بقضاء تلك الركعة بل قال : زادك الله حرصًا ولا تعد لأنه كان لما أقبل إلى الصف أسرع وكبر قبل أن يصل إلى الصف ثم دخل في الصف ، فالنبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن السرعة .

فإذا جاء والإمام راكع فليأت بطمأنينة وهدوء كما قال النبي صلى الله عليه وسلم : إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك فالذي أنكره عليه إنما هو السرعة فقط ولم يأمره بإعادة الركعة التي أدركها معه ، فدل على أن من أدرك الإمام في الركوع وركع معه فإنه يكون مدركًا للركعة ، وهذا الذي سمعته من بعض الناس قول مرجوح لبعض العلماء والصحيح ما ذكرناه والله أعلم .

وأيضًا قوله : لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب فهذا للإمام والمنفرد ، أما المأموم فينصت لقراءة إمامه إذا جهر لقوله تعالى : وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ فالمأموم يقرأ الفاتحة في سكتات إمامه ، أما إذا جهر الإمام فإنه يجب على المأمومين الإنصات والاستماع للقرآن ؛ لأن قراءة الإمام قراءة للجميع .


المصدر : الموقع الرسمي لفضيلة الشيخ الفوزان


Soal :

Apabila seseorang datang untuk sholat, dan ia mendapati imam sedag ruku’ lantas ia ruku bersama imam, dan tidak membaca fatihah, apakah shoalatnya sah. Karena saya mendengar bahwasanya tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca fatihah?


Jawab :

Siapa saja yang datang (untuk sholat) sementara imam dalam keadaan ruku’ maka ia harus bertakbiratul ihram dalam keadaan tegak berdiri, kemudian ia bertakbir untuk ruku’ dan ia ruku’ bersama imam. Maka ia telah mendapatkan satu rakaat dan tidak wajib baginya membaca fatihah dalam keadaan ini, karena ia telah kehilangan tempat/waktu untuk membaca fatihah, Dan shalatnya pun Sah. Karena tempat membaca fatihah adalah dalam keadaan berdiri, dan dalam keadaan seperti ini ia tidak mendapatinya. Maka bila ia mendapati imam ruku kemudian ia ruku bersama imam, maka sungguh ia telah mendapati satu rakaat dan shalatnya sah, Insya Allah. Dan dalilnya adalah, Bahwa Abu Bakrah radhiallohu ‘anhu datang untuk sholat sementara Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam sedang ruku, maka iapun ruku, dan Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam tidak menyuruhnya mengulangi rakaatnya itu, akan tetapi Beliau Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

زادك الله حرصًا ولا تعد

“Semoga Alloh menambahkan semangatmu dan janganlah engkau ulangi lagi.” [HR. Abu Daud dan lain-lain dalam Ash-shohihah Al-Albany][1]

Karena ia (ruku) tidak didalam shaf karena terburu-buru dan bertakbir sebelum berada dalam shaf kemudian baru ia masuk kedalam shaf, maka nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam melarangnya dari tergesa-gesa.


Maka apabila datang seseorang sementara imam dalam keadaan ruku, hendaklah ia datang dengan tenang dan santai sebagaimana sabda Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam,


إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم بالسكينة والوقار ولا تسرعوا ، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا وفي رواية واقض ما سبقك


“Apabila kalian mendengar Iqamah maka berjalanlah untuk sholat dengan tenang dan biasa/santai dan janganlah kalian tergesa-gesa, Maka apa yang kalian dapati, kerjakanlah dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.” dalam riwayat lain “kerjakanlah apa yang tertinggal”


Maka inilah hadits larangan tergesa-gesa, dan ia tidak memerintahkan untuk mengulangi rakaat yang ia dapati bersama imam. Maka ini menunjukkan bahwa barangsiapa mendapati imam dalam keadaan ruku’ dan seseorang ruku beserta imam, maka sungguh ia mendapati satu rakaat. Dan yang kamu (tanyakan) dengar dari pendapat sebagian manusia itu adalah pendapat yang Marjuh (lemah) diantara sebagian ulama, dan yang shohih (kuat) adalah apa yang telah aku sebutkan. Wallohu A’lam.


Dan Sabdanya (Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam); “Tidak ada sholat bagi siapa yang tidak membaca fatihah”, maka ini adalah ditujukan bagi Imam dan Munfarid (orang yang sholat sendiri). Adapun bagi makmum maka hendaklah ia diam untuk mendengar bacaan imamnya apabila ia menjiharkan bacaannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan bila dibacakan AlQuran maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang dirahmati.” Maka makmum hanya boleh membaca fatihah dalam saktah (tempat-tempat berhenti) imamnya. Adapun jika imam menjaharkan (menyaringkan bacaannya) maka wajib bagi seluruh makmum untuk diam dan mendengar bacaan alquran, karena bacaan imam adalah bacaan untuk seluruh makmum.


Sumber : Website Resmi Fadhilatus Syeikh Alfauzan.

[1] Dari hadits Abu Bakrah. bahwa Abu Bakrah datang, namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah ruku’. Lalu Abu Bakrah pun ruku’ sebelum mencapai shaf dan berjalan menuju shaf. Ketika beliau Rasul telah menyelesaikan shalatnya. beliau bertanya: “Siapa di antara kalian yang ruku’ sebelum mencapai shaf lalu berjalan menuju shaf?” Abu Bakrah menjawab: “Saya wahai Rasul.”, Beliau pun bersabda:

٢٣٠ - زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدَّ

“Semoga Allah menamhahkan semangat tinggi padamu. Dan jangan kamu ulangi.”
Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu ta’ala- ditanya tentang hadits yang berbunyi,
لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

“Tidak ada sholat bagi tetangga masjid kecuali ia sholat di masjid”

Apakah ini termasuk hadits shohih atau perkataan ma’tsur (atsar sahabat)? Sementara kalimat tersebut sangat tegas (memberatkan), padahal agama ini adalah agama yang mudah dan tidak sulit/memberatkan. Apa pendapat syeikh dalam masalah ini?
Jawab Syeikh,

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

Lafadz ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ad-Daruquthniy, Al-Hakim, At-Thabraniy dan Ad-Dailamiy yang kesemuanya dengan sanad yang dhoif/lemah yang disandarkan kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam. Bahkan Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolaniy berkata :

ليس له إسناد ثابت وإن اشتهر بين الناس

“Hadits tersebut tidak memiliki sanad yang tsabit, walaupun hadits ini masyhur dikalangan manusia”

Para Ahli Ilmu sepakat menilai bahwa hadits tersebut dhoif. Dan jika dikerjakan sholat itu dirumah maka sholatnya sah, dan makna hadits tersebut adalah tidak “sempurna” sholat bagi tetangga masjid kecuali dimasjid.
Sungguh telah banyak hadits-hadits shohih yang menjelaskan sahnya sholat sendiri akan tetapi ia berdosa jika tanpa udzur syar’I meninggalkan sholat berjamaah dimasjid. Karena sholat berjamaah bersama kaum muslimin adalah wajib sebagaimana hadits yang lain seperti sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam,

من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر

“Barang siapa mendengar panggilan (adzan) namun tidak memenuhinya, maka tidak ada sholat baginya kecuali ada udzur.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya bab Sholat (551), Ibnu Majah dalam sunannya bab Masjid dan Jama’ah (793), Ad-Daruquthniy, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, sanadnya sesuai syarat Muslim.

Juga sebagaimana sabda Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kepada seorang yang buta, yang memohon idzin kepada nabi untuk sholat dirumahnya karena ketiadaan orang yang mau menuntunya kemasjid. Rasululloh bersabda, “Apakah engkau mendengar adzan?” maka orang itu menjawab, “ya”, lantas nabi mengatakan, “maka wajib (menghadiri panggilan adzan).” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Masjid dan tempat sholat (653), dan An-Nasa’i dalam sunannya bab Imamah (850).
Aku berwudhu sementara aku lupa membaca basmalah, dan aku mengingatnya setelah membasuh kedua tangan. Dan setiap kali aku ingat bahwa aku lupa membaca basmalah, maka aku mengulangnya kembali dari awal, bagaimana hukum permasalahan ini?


Jawab : Jumhur ulama telah berpendapat tentang shah-nya wudhu tanpa membaca basmallah. Dan telah berpendapat sebagian ulama bahwa wajib hukumnya membaca basmallah jika ia mengetahuinya dan mengingatnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

لا وضوء لمن لم يذكر اسم الله عليه

“Tidak ada wudhu bagi siapa yang tidak membaca nama Alloh / Basmallah saat itu.”

Akan tetapi, meninggalkan membaca basmallah karena lupa atau ketidaktahuan maka wudhu’nya shah, dan tidak diwajibkan mengulangi wudhu’nya tersebut walaupun kami berpendapat tentang wajibnya membaca basmallah ketika hendak wudhu’. Hal ini dikarenakan udzur yang ada, berupa ketidaktahuan dan kelupaan.

Dan hujjah dalam masalah ini adalah firman Alloh Ta’ala

رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah. [QS. Albaqarah : 286]

Dan telah shohih dari Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam bahwa

أن الله سبحانه قد استجاب هذا الدعاء

Sesungguhnya Alloh Subhanahu telah mengabulkan do’a ini.

Dan dengan demikian, bahwa jika kamu lupa membaca basmalah pada awal berwudhu’, kemudian dipertengahan wudhu’mu, maka hendaklah kamu membaca basmalah saat itu. Dan tidak wajib kamu mengulangi wudhu’mu dari awal. Karena saat itu kamu mendapat keudzuran, yakni karena lupa. waffaqallohul jami’.


Dijawab oleh Asy-Syeikh AbdulAziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullohu-

Sumber : http://binbaz.org.sa/mat/2213

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE