Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Allah azza wa jalla berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisaa:29)

Agama Islam mengakui dan melindungi hak milik perseorangan, asal diperolehnya dengan jalan yang halal. Sebab itu, diperintahkan kepada orang-orang beriman, supaya jangan memakan atau mengambil harta sesamanya dengan jalan yang tidak halal. Itu namanya memakan harta yang haram. Mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak halal itu banyak macamnya, misalnya dengan jalan mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba.
Salah satu jalan yang dihalalkan pengambilan dan pertukaran harta ialah perniagaan, jual beli yang dilakukan suka sama suka antara sipenjual dan si pembeli dengan cara jujur dan tidak ada penipuan di dalamnya. Termasuk mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, memajukan perkara ke depan pengadilan, supaya menjadi sah menurut hukum secara lahir, sedang pada hakikatnya adalah harta orang lain. Allah SWT berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah:188)

Dapatlah dipahami bahwa putusan hakim (pengadilan) tidak dapat menjadikan yang haram itu menjadi halal menjadi haram pada sisi Tuhan, karena yang haram tetap haram dan yang halal tetap halal. Nabi saw. sesudah memberikan keputusan tentang suatu perkara harta benda, beliau pernah mengucapkan bahwa beliau memutuskannya menurut apa yang kelihatan menurut lahirnya, tetapi mungkin salah seorang di antara yang berperkara, yang satu lebih pintar lebih pandai berbicara dan lawannya, sehingga beliau memenangkan orang itu. Selanjutnya beliau memperingatkan, kalau putusan itu tidak tepat, berarti beliau memberikan kepada orang yang menang bara api. Kalau dia mau, silakan nengambi1nya sedikit atau banyak. Putusan Nabi sendiri tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Berkenaan dengan perniagaan sebagai suatu cara pemindahan dan peredaran harta yang dihalalkan, berdasarkan sukarela antara kedua belah pihak, si penjual dan si pembeli, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan perniagaan ini. Ada perniagaan yang haram disebabkan oleh beberapa keadaan, misalnya menjual barang yang haram, barang terlarang memakan, meminum atau memakainya dan barang yang berasal dari curian dan rampasan. Seterusnya menjual barang yang tidak terang keadaannya, belum tentu baiknya atau tidak dapat dikirakan berapa jumlah yang sebenarnya. Terlarang pula mengurangi sukatan, ukuaran dan timbangan.

Berkenaan dengan mengurangi sukatan, ukuran dan timbangan ini disebuutkan dalam firman Firman Allah SWT:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’:35)

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ.الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ.وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin:1-3)
Dalam melakukan perniagaan ini hendaklah ada kejujuran dan tidak ada penipuan. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu waktu lewat di tempat orang menjual bahan makanan dan beliau tertarik melihatnya. Kemudian beliau memasukan tangannya dalam bahan makanan itu dan tangan Beliau kelihatan basah. Nabi bertanya kepada penjual bahan makanan, apa sebabnya begitu? Dijawab karena kena hujan. Nabi bersabda: “Mengapa tidak diletakkan sebelah atas supaya kelihatan. Kemudian beliau memberikan ancaman keras, dengan sabda beliau yang artinya:

“Siapa yang menipu kita, dia bukan golongan kita”. (HR. Muslim).

Kaurn saudagar apabila menjual barang yang ada cacatnya, hendaklah hal itu diterangkan dan siapa yang mengetahuinya wajib pula menerangkannya kepada si pembeli. Sabda Beliau yang artinya:

“Seseorang menjual barang yang ada cacatnya, wajib menjelaskan cacat itu dan bagi orang yang mengetahuinvu, wajib pula menjelaskannya”.(Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi).

Di samping perlindungan terhadap hak milik, diperlukan pula perlindungan terhadap nyawa. Sebab itu terlarang mumbunuh orang, apalagi membunuh diri sendiri, karena Allah itu sangat sayang kepada hambaNya. Membunuh itu adalah suatu kejahatan dan dosa besar, bisa menggemparkan dan mengganggu keamanan masyarakat. Sebab itu, dalam ayat lain disebutkan, bahwa siapa yang melanggar hak milik dan membunuh orang kepadanya diancam akan beroleh siksaan neraka di hari akhirat dan hukum kisas di dunia.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

”Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisaa:30)

Apabila perlindungan terhadap hak milik dan nyawa dapat berjalan dengan baik, tentu akan terciptalah keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat. Sebaliknya dengan tidak ada perlindungan terhadap hak milik dan nyawa, akan terjadilah kekacauan dan silang sengketa yang tidak habis-habisnya.

Dari Imam Al-‘Auza’I, beliau berkata,
إذا أراد الله أن يحرم عبده بركة العلم ألقى على لسانه الأغاليط

Apabila Allah ingin untuk mengharamkan seseorang dari keberkahan ilmu, maka Allah akan berikan pada lisan orang tersebut Al-Agholiith (kesalahan-kesalahan). [Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr, hal. 1078].

Berkata fadhilatus syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafidzahullah :
Yang dimaksud dengan Al-Agholiith adalah senantiasa condong kepada pendapat yang ganjil (syadz) dan hal-hal yang sulit dengan penuh takalluf (membebani diri), serta memiliki tujuan yang buruk setiap kali bertanya, dimana pertanyaan-pertanyaannya mengandung provokasi yang membimbangkan (orang lain), gemar berdebat dan selalu mencari-cari permusuhan.

Dan barang siapa yang semangatnya terbatasi pada mengikuti hal-hal yang ganjil (syadz) tersebut, tidak memiliki semangat untuk memahami tentang Allah dan RasulNya dengan benar dan (tidak memiliki) semangat berilmu yang melahirkan amalan, maka dia telah menyia-nyiakan waktunya dan (pada hakikatnya) dia telah diharamkan oleh Allah untuk mendapatkan keberkahan ilmu.

Sumber : http://al-badr.net/muqolat/2693
Diterjemahkan oleh : Ust. Aminullah Yasin
Syaikh Al-Bany ditanya:
Apa dalil haramnya taklid? Dan bagaimana hukum bermazhab?

Jawaban:
Saya tidak mengetahui dalil haramnya taklid, bahkan taklid merupakan suatu keharusan bagi orang yang tidak memiliki ilmu. Allah azza wa jalla telah berfirman:

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An Nahl: 43)

Berdasarkan ayat ini, kaum muslimin dalam hal ilmu dibagi menjadi dua bagian:

Pertama:
Seorang yang berilmu ('alim) wajib baginya menjawab pertanyaan orang yang bertanya.

Kedua:
Orang yang tidak berilmu, wajib bertanya kepada seorang yang berilmu.
Seseorang yang bertanya kepada ustadz atau ulama yang berilmu jika menghadapi satu masalah berarti telah mengamalkan ayat di atas.

Barangkali maksud si penanya adalah bagaimana hukumnya jika seseorang dalam menjalankan agamanya mengikuti tata cara salah satu mazhab dan tidak peduli dengan mazhab yang lain atau pendapat-pendapat ulama yang tidak sesuai dengan mazhab yang dia anut, jawabannya tentu saja bermazhab seperti ini tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan dalil-dalil baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi .

Dan para ulama telah membagi manusia dalam beragama kepada tiga golongan:
  1. Mujtahid (orang yang berijtihad).
  2. Muttabi (orangyang mengikuti dalil-pent), ia berada di atas ilmu
  3. Muqollid (orang yang ikut-ikutan, tidak mempunyai ilmu-pent), kebanyakan manusia termasuk dalam golongan terakhir ini.

Dengan demikian, tidak bisa kita katakan bahwa taklid secara mutlak hukumnya haram, kecuali taklid buta.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah
Seorang tabi'in yang  bernama Amir bin Abdillah bin Zubair belajar dari ayahnya Abdullah bin Zubair ra.

Pada suatu hari Amir terlambat pulang ke rumah lalu ayahnya bertanya: Ke mana saja kamu, wahai Amir? Ia menjawab: Saya melihat suatu kaum yang tidak ada yang lebih baik daripada mereka, mereka berdzikir kepada Allah Ta'ala, salah satu di antara mereka gemetar kemudian pingsan karena takutnya kepada Allah!

Lalu ayahnya berkata: Janganlah kamu duduk bersama mereka lagi, wahai Amir! Kemudian Amir bertanya: Mengapa? Bukankah mereka adalah suatu kaum yang takut kepada Allah? Bapaknya menjawab: Sungguh saya telah melihat bagaimana Rasulullah saw membaca Al-Quran, dan aku melihat pula Abu Bakar 'dan Umar ra membaca Al-Qur'an, namun tidak sampai mengalami sebagaimana orang-orang yang kamu ceritakan itu, lalu apakah kau kira mereka lebih khusyu' dari pada Abu Bakar dan Umar?

Penulis mendapatkan kisah tersebut dalam biografi tabi'in yang zuhud dan ahli ibadah ini. Beliau belajar kepada ayahnya, seorang sahabat yang agung dan putra sahabat yang agung pula, yakni Abdulullah bin Zubair bin Awwam maka petunjuknya sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Dalam riwayat ini terdapat solusi dari problem berupa ghuluw (melampaui batas) dan sikap ektsrim yang banyak menimpa kaum muda yang tengah bersemangat, sekalipun dengan niat yang baik dan menginginkan kebaikan, akan tetapi mereka salah dalam menempuh cara. Sehingga mereka tidak mendapatkan tujuan yang mereka kehendaki.

Abdullah bin Zubair bertanya kepada anaknya Amir atas keterlambatan pulang kerumah itu adalah merupakan hak baginya dan bahkan kewajiban bapak terhadap anaknya. Bukan berarti beliau merampas kemerdekaan anak atau mengekangnya, bahkan hal itu merupakan wujud penjagaan dan perhatian seorang ayah dan bagian dari tarbiyah yang baik.

Sungguh buruk sekali pendidikan yang mengklaim memberikan kemerdekaan kepada anak sepenuhnya tanpa adanya pengawasan dari orang tua terhadap prilaku mereka. Itu adalah kemerdekaan semu dan kebebasan yang merusak. Menganggap anak memiliki kedewasaan seperti dirinya, hingga mereka terjerat pergaulan dengan anak-anak berandalan, sementara mereka masih pendek nalarnya dan masih sempit pengalamannya, sehingga begitu mudah dijerumuskan dan dipengaruhi oleh teman-teman yang buruk, sementara bapaknya hanya menyaksikan dan bersikap netral tanpa komentar. Dengan dalih memberikan kemerdekaan bagi anaknya dan tidak ikut campur tangan dalam urusannya.

Inilah faedah pertama dari riwayat ini, yakni memberikan gambaran tentang konsep pendidikan Islam yang lurus semenjak awal tarikh hijriyah. (Amir tidak mempersoalkan pertanyaan ayahnya yakni tidak menyanggah ayahnya mengapa ia menanyakan urusannya), namun beliau memberikan alasan yang menyebabkan keterlambatannya. Beliau memberitahukan tentang keadaan kaum yang beliau lihat, mereka berdzikir kepada Allah dengan khusyu' dan takut hingga salah satu di antara mereka gemetaran lalu pingsan karena takut kepada Allah.

Akan tetapi Abdullah bin Zubair tidak simpati dengan kondisi orang yang diceritakan tersebut, tidak suka dengan apa yang mereka lakukan, tidak terperdaya oleh sikap lahir mereka. Bahkan dia meminta agar anaknya tidak bergaul dengan orang yang dikatakan khusyu tersebut, dan agar anaknya menjauhi mereka. Larangan tersebut membuat Amir keheranan mengapa ayahnya melarang berkumpul dengan kaum yang pingsan saking takutnya kepada Allah maka ia bertanya pada bapaknya: Mengapa, wahai ayah, padahal mereka adalah kaum yang takut kepada Rabb mereka?

Seharusnya ayahnya menganjurkan dia untuk bergaul dengan mereka dan memberikan motivasi untuk mengikuti mereka. Mengapa dia melarangnya padahal rasa takut itu telah bersemayam di hati dan menguasai perasaan mereka? (begitulah pikir Amir ketika itu)

Lalu muncullah jawaban dari sahabat yang agung tersebut, menjelaskan manhaj ittiba' dan jauh dari bid'ah, serta menerangkan tidak adanya kebaikan dalam ghuluw (berlebih-lebihan) atau melampaui dari apa' yang telah dikerjakan oleh Nabi dan para shahabatnya. Lalu beliau katakan bahwa beliau melihat Nabi ketika membaca Al-Qur'an (Al-Qur'an adalah sebaik-baik dzikir), begitupula halnya dengan kedua sahabat beliau yakni Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'Anhuma, namun tidaklah mengalami kondisi sebagaimana kondisi orang yang dilihat anaknya yakni orang yang pingsan karena khusyu'nya. Apakah mereka lebih khusyu' kepada Allah dari Rasul-Nya yang mulia padahal beliau telah menyebutkan nikmat yang Allah karuniakan kepada beliau dengan sabdanya:
Sesungguhnya orang yang paling bertakwa kepada Allah dan yang paling takut kepada-Nya adalah aku.

Dan apakah mereka lebih khusyu' pula daripada dua sahabat yang mulia, yakni Abu Bakar dan Umar? Padahal Abu Bakar 'lebih bagus keimanannya daripada iman seluruh umat ini, sebagaimana pernah disebutkan dalam sebuah hadits. Sedangkan Umar Syetan lari darinya sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah saw.

Jika demikian, mereka adalah orang-orang yang mengada-ada dan mutakallifun (memperberat diri) atau dari ahli meditasi dan filsafat yang jauh dari petunjuk salaf yang berada di tengah-tengah dan lurus. Sehingga tidak ada baiknya berteman dan meneladani mereka maka camkanlah nasihat ini wahai para pemuda.

Diambil dari Haakadza..Tahaddatsas Salaf edisi bahasa Indonesia Potret Kehidupan Para Salaf karya Dr. Musthafa Abdul Wahid. Penerbit : At-Tibyan
Bismillah Assalamu Alaikum


'Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan Makna YAKIN: “YAKIN dalam iman seperti kedudukan RUH dalam JASAD, yang dengannya orang-orang yang ‘arif saling berunggul-unggulan, orang-orang berlomba-lomba padanya, orang-orang yang beramal berjalan kepadanya, dan suatu kaum beramal agar berada di atasnya, serta isyarat mereka seluruhnya kepadanya, dan apabila sabar bergandengan dengan yakin maka keduanya itu akan melahirkan kepemimpinan dalam agama.

'Allah Subhanahu' wa Ta’ala berfirman -> dan dengan firman-Nya orang-orang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk- : Artinya “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS: As-Sajdah:24).

'Allah Ta’ala mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan kemampuan mengambil manfaat terhadap ayat-ayat(Nya) dan hujjah-hujjah, Allah azza wa Jalla berfirman -dan Dialah sebenar-benar dzat yang berbicara- : Artinya “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS: Adz-Dzaariyaat:20).

'Dan Allah Ta'ala telah mengkhususkan orang-orang yang "YAKIN" dengan petunjuk dan kemenangan/ keberuntungan di antara seluruh alam, Allah Ta'ala berfirman, Artinya “Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS: Al-Baqarah: 4-5).

'Maka Yakin adalah Ruhnya amalan-amalan hati yang (amalan-amalan hati tersebut) merupakan ruhnya amalan-amalan anggota badan, dan merupakan hakikatnya kejujuran/kebenaran serta pusatnya perkara ini.” (Madaarijus Saalikiin 2/397).

Oleh karena itu, Saudariku... Yakin adalah ilmu yang tidak ada keraguan padanya dan i’tiqad/ keyakinan/ kepercayaan yang sesuai dengan kenyataan. Ada tiga tingkatan dalam yakin: ‘ilmul yaqiin, haqqul yaqiin, dan ‘ainul yaqiin. Adapun tingkatan pertama seperti pengetahuanmu bahwasanya di lembah ini terdapat air, sedangkan tingkatan kedua adalah kalau kamu sudah melihatnya dan tingkatan ketiga adalah kalau kamu sudah meminumnya. "Allahu a'lam"

'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Yakin itu adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah. Engkau tidak hasad (dengki) kepada seorang atas rezeki yang Allah berikan untuknya. Engkau tidak mencela seseorang karena sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu.

''Sesungguhnya rezeki Allah tidak akan didapatkan oleh orang yang rakus dan tidak akan dibatalkan oleh orang yang tidak senang. Sesungguhnya Allah dengan keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya, menjadikan ketenangan dan kebahagiaan ada di dalam keyakinan dan keridhaan serta menjadikan kegundahan dan kesedihan ada di dalam kemarahan dan keragu-raguan."

(Tazkiyatun Nufus hal. 54 karya Dr. Ahmad Farid melalui Maktabah Syamilah).
Agama Islam adalah nasehat, dan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk-bentuk nasehat, adalah dakwah. Namun sebagaimana amalan-amalan lain yang dipahalai oleh Alloh Ta’ala, tentunya dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkarmestilah dibarengi dengan ilmu tentangnya dan ilmu tentang apa yang diserukan. Misalnya, jika seseorang mengajak orang lain untuk mendirikan sholat, maka seharusnya si pengajak (da’i) terlebih dahulu mengerti dan memahami segala ilmu tentangnya, sejak dari dalil-dalil pensyariatan sholat hingga tatacara sholat yang benar-benar sesuai petunjuk Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam.
Hal inilah yang seringkali diacuhkan begitu saja oleh para da’i dewasa ini. Maka satu dari sekian banyak ketentuan yang harus ada dalam diri seorang da’i adalah ilmu tentang apa yang sedang dan yang akan ia serukan.
Alloh Ta’ala berfirman,
فَاْعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلمُؤْمِنِينَ وَالمؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُم
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” [QS. Muhammad : 19]
Dengan ayat inilah Al-Imam Bukhary -rahimahullohu ta’ala- membuat satu bab dengan judul باب العلم قبل القول والعمل“Bab Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.” [Shohih Bukhary 1/159]
Hal tersebut bisa difahami bahwa Alloh Ta’ala telah memerintahkan kepada nabi-Nya dengan dua perkara; denganilmu dan kemudian amal. Adapun memulainya dengan ilmu itu dijelaskan dalam ayat tersebut,
فَاْعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللهُ
“Ketahuilah bahwa tiada sesembahan yang haq, selain Alloh.”
Baru kemudian diikuti dengan amal,
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِك
“Dan mohonlah ampunan untuk dosa-dosamu.”
Dengan demikian, kita semua menyadari bahwa ilmu adalah syarat bagi amalan dan perkataan. Tanpa ilmu maka amalan dan perkataan itu sangat jauh dari petunjuk Alloh dan RasulNya. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’ala- menjelaskan tentang syarat amar ma’ruf dan nahi munkar, dengan berkata;
ولا يكون عمله صالحاً إن لم يكن بعلم وفقه .. وهذا ظاهر فإن العمل إن لم يكن بعلم كان جهلاً وضلالاً ، واتباعاً للهوى وهذا هو الفرق بين أهل الجاهلية
“Dan tidaklah dianggap amalan sholih jika tanpa disertai dengan ilmu,… dan ini sudah jelas. Maka sungguh amalan itu jika tanpa disertai ilmu adalah kebodohan dan kesesatan, dan hanya mengikuti hawa nafsu saja, yang demikian termasuk golongan ahli jahiliyah / orang-orang bodoh.” [Al-amru bilma’ruf wan nahy anil munkar, Ibnu Taimiyah, hal. 17]
Hal ini juga sebagaimana atsar dari salafunas sholih, telah diriwayatkan secara marfu’, AlQadhi Abu Ya’la menyebutkan dalam Al-Mu’tamad,
لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فقيهاً فيما يأمر به ، فقيها فيما ينهى عنه ، رفيقاً فيما يأمر به ، رفيقاً فيما ينهى عنه ، حليماً فيما يأمر به ، حليماً فيما ينهى عنه
“Janganlah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran kecuali bagi orang-orang yang telah memahami tentang yang diserukan itu, dan yang telah memahami terhadap larangan yang dilarang itu, dan hendaklah lemah lembut dalam menyampaikan apa yang diserukan itu, dan lemah lembut menyampaikan apa yang dilarang. hendaklah juga ia sabar dalam menyeru (kebaikan) dan sabar dalam mencegah (kemungkaran itu). [Mukhtasar Minhajul Qosidin, Ibnu Qudamah, hal 131]
Maka jelaslah bahwa bagi orang yang tidak memiliki ilmu, usaha yang harus ia lakukan pertama sekali adalah menuntut ilmubaru kemudian setelah itu ia boleh berdakwah.


Oleh : Abu Salma bin Rosyid


Kaum muslimin rahimakumullahu jamian, Marilah kita bersyukur kepada Allah ta’ala atas limpahan rahmat-Nya dan nikmat-Nya kepada kita semua, terutama ni’mat Islam dan ni’mat Iman. Karena betapa banyaknya di dunia ini Manusia maupun Jinnya yang tidak dapat menerima kebenaran Islam sebagai agama. Sungguh kita menyaksikan di sekitar kita manusia-manusia yang mengabaikan terhadap syari’at mulia ini. Maka sudah sepatutnya berulang-ulang kita mensyukuri ni’mat yang agung ini.

Tentang kebesaran ni’mat Islam ini Allah ta’ala telah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 3

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.

Para ulama menjelaskan bahwa menjadi seorang Muslim adalah nikmat terbesar dan nikmat selainnya adalah nikmat yang tidak dapat menyamai sama sekali.

Maka Sungguh celaka ! siapa saja yang dikehendaki oleh Allah ta’ala menjadi orang yang kafir mendustakan agama ini. Sebagaimana Allah ta’ala mengancam terhadap orang-orang yang menolak Islam ini dengan ancaman neraka jahanam kekal di dalamnya

Dalam banyak ayat Allah ta’ala berfirman, di antaranya dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.

Itu adalah seburuk-buruk tempat kembali, mudah-mudahan Allah ta’ala menghindarkan kita dari menolak kebenaran dan mengokohkan kita sebagai orang Muslim sampai ajal menjemput kita.

Maka dari itu kaum muslimin kami mengingatkan kepada kita semua sebuah firman Allah ta’ala

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.

Para pembaca barokallahufikum

Setelah kita memikirkan,mengingat-ingat dan menyadari terhadap kenikmatan ke Islaman kita, perlu kiranya kita semua untuk menilai dan bertanya terhadap diri kita masing-masing. Sudahkah kita ini dengan sungguh-sungguh mensyukuri nikmat yang agung ini, atau bahkan sebaliknya kita termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan kenikmatan Islam ini ?

Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 18

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ يَا اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Betapa celakanya kita ini, apabila telah menjadi seorang Muslim namun tidak mau beribadah kepada Allah ta’ala . Apa artinya menjadi seorang muslim akan tetapi tidak mau beribadah kepada Allah ta’ala dengan mentauhidkannya.

Sunnguh celaka kita ketika telah menerima Islam akan tetapi senantiasa berbuat Musyrik menyembah, memohon doa dan pertolongan kepada selain Allah ta’ala seperti Dukun, Jin, Gunung, Bumi dan sesembahan-sesembahan selain Allah ta’ala.

Allah ta’ala mengancam keras terhadap orang-orang Musyrik, diantaranya ancaman Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 72

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.

Sungguh…. kita harus dengan sungguh-sungguh berupaya mentauhidkan Allah ta’ala, menyerahkan peribadahan ini hanya untuk Allah ta’ala dan berupaya dengan sungguh-sungguh menghidari kesyirikan dalam segala bentuknya.

Maka sudah sepantasnya kita semua senantiasa memohon kepada Allah ta’ala dikokohkan dalam agamanya dan mengikhlaskan ibadah ini hanya untuk Allah ta’ala semata.

Selanjutnya kaum muslimin setelah kita menyadari tentang besarnya nikmat Islam serta pentingnya tauhid dan bahayanya syirik perlu juga senantiasa kita waspadai terhadap sesuatu yang membahayakan amalan kita, yaitu kebid’ahan yaitu beribadah kepada Allah ta’ala tanpa bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sunguh suatu kemalangan dan kecelakaan apabila kita yang telah dapat menerima Islam sebagai agama namun kita tidak mempu mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menolak bahwa beribadah ini harus mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ketahuilah oleh kita semua bahwasannya Allah ta’ala telah memberi contoh kepada kita cara kita beribadah kepada_Nya. Contoh itu adalah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Allah ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الاخر

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat

Maka sudah semestinya kita semua berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan sebenar-benarnya. Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa mengenal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengharuskan beberapa sikap :

Menerima terhadap apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bawa berupa petunjuk dan agama yang benar
Membenarkan apa yang beliaع shallallahu ‘alaihi wasallam kabarkan
Menjalankan apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan
menjauhkan diri dari apa yang beliau larang dan beliau cerca
Berhukum kepada syariat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan ridha terhadap hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sungguh celaka jika kita telah menjadi orang muslim, dan beribadah ikhlas kepada Allah ta’ala semata akan tetapi amalan-amalan kita adalah kebid’ahan. Sholat kita dengan cara bid’ah, Puasa kita dengan cara bid’ah, hari raya kita bid’ah, zakat kita bid’ah, dan amalan-amalan kita semua tercشmpuri dengan kebid’ahan-kebid’ahan.

Perlu kiranya kita mengingat kembali hadits yang mulia, sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam.

عن ام المؤمنين ام عبد الله عا ءشة رضي الله عنها قلت قل رسو ل الله صلى الله عليه وسلم : من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري) وفي رواية المسلم : من عمل عملا ليس عليه امرن وهو رد

Dari ummul mu’minin aisyah semoga Allah ta’ala meridhoinya dia berkata. Rasulullah shallahu ‘alai wasallam bersabda Siapa yang mengadakan (sesuatu yang baru) dalam urusan (syariat / dien) ini yang bukan dari padanya maka dia tertolak (HR. Bukhari) Dan dalam riwayat Muslim : Barang siapa yang mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka dia (amalan) itu tertolak.

Kaum muslimin hadits tadi mengingatkan kita agar senantiasa beribadah dengan cara mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya tidak mungkin kita akan mengenal dan mencontoh bagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah tanpa belajar terhadap ilmu agama yang mulia ini, maka dalam kesempatan ini marilah kita semuanya senantiasa menghadiri majlis-majlis ta’lim juga berupaya mengadakan majlis-majlis ilmu agama sehingga dengan semua itu memungkinkan kita semua mendapat ilmu agama sebagai bekal kita beribadah kepada Allah ta’ala.

Terhadap pentingnya ilmu agama ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Memberitakan kepada kita bahwa kebaikan seseorang itu diantaranya dapat diketahui dengan pemahaman ilmu agama yang dimilikinya.

ومن يرد الله به خيرا يفقه في الدين

Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah ta’ala maka Allah ta’ala fahamkan dia terhadap ilmu agama.

Para pembaca semoga Allah ta’ala merahmati kita, maka sudah menjadi kemestian agar kita mampu beribadah dengan ikhlas dan mencocoki ajaran shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengan itu kita menghadap pahala Allah ta’ala, tidak lain dan tidak bukan kita semua harus menuntut ilmu agama, jangan sampai waktu kita habis terbuang percuma mengamalkan hal yang sia-sia, sehingga ancaman kemusyrikan dan kebid’ahan senantiasa mengintai di belakang kita, mudah-mudahan Allah ta’ala kokohkan kita dalam agama-Nya. 

Selanjutnya tentang keutamaan ilmu Syaikh Utsaimin menjelaskan dalam Kitabul ‘Ilmi fi fashl fadhoilul ‘ilmi, Beliau berkata :

Sungguh Allah ta’ala memuji terhadap ilmu dan pemiliknya, dan menganjurkan beribadah kepada-Nya di atas ‘ilmu dan menganjurkan kepada kaum muslimin untuk berbekal dengan ilmu. Karena ilmu termasuk amalan sholih yang paling mulia dan ilmu sebesar-besar pembersih ibadah, ilmu merupakan ibadah tathawu’, sesungguhnya ilmu merupakan bagian dari jihad fi sabilillah karena Din Allah ta’ala akan tegak hanyalah dengan dua perkara : 1). Al Ilmu dan Penjelasan, 2) Perang dan Persenjataan.

Harus dengan dua perkara ini, dan tidak akan kokoh berdiri Agama Allah ta’ala dan tampak kecuali dengan dua perkara trsebut secara bersama-sama. Dan yang pertama dari keduanya mendahului terhadap keduanya hal ini dikarenakan tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merubah (memerangi) suatu kaum setelah menyampaikan kepada mereka untuk beribadah kepada Allah ta’ala, maka jadilah ilmu mendahului peperangan. (sampai disini kami nukilkan)


Jelaslah ilmu sangat penting buat kita pribadi dan buat Islam itu sendiri.

Tentunya kita mengharap suatu saat nanti Islam ini akan nampak di seluruh belahan bumi. Kita berharap suatu saat nanti Hukum Islam ini akan berfungsi kembali. Maka untuk itu di butuhkan Ahli Ilmu yang dapat menerapkan ilmunya itu dengan jujur dan bersih.

Bagaimana mungkin Hukum Islam ini akan tegak sementara belum ada yang bisa menegakkannya bagi dirinya sendiri (kecuali sangat sedikit yang dirahmati oleh Allah ta’ala).

Maka jelaslah kita membutuhkan para Ulama untuk menjadi hakim, penerang bagi seluruh kaum muslimin. Pastilah sekarang bahwa Kedudukan Ilmu dan Ahli Ilmu adalah sangat tinggi. Oleh karena itulah Allah ta’ala bertanya kepada kita melalui firman-Nya :

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ

Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Dengan demikian betapa kecilnya kita ? Bukankah kita ini masih bodoh ? Hukum apa yang telah kita ketahui dari Islam ini ? Maka untuk menyelamatkan diri kita sebelum menyelamatkan orang lain juga menyelamatkan Islam harus dan harus kita berilmu, tidak akan mungkin kita beribadah tanpa ilmu. Maka marilah kita menuntut ilmu.

Perlu kita bertanya untuk kita semua ? Pantaskan Islam ini tegak pada saat kaum Muslimin berbondong-bondong menyekolahkan anaknya menuntut Ilmu Hukum barat ? Pantaskah Allah ta’ala menolong kaum Muslimin yang bangga menyandang gelar Sarjana Hukum Barat ?

Sekali lagi marilah kita meyumbangkan untuk diri kita dan kaum muslimin juga Islam dengan menuntut Ilmu Agama. Dengan itu kita berharap muncul generasi Islam yang mengenal dan menguasai terhadap Agamanya, kita berharap Allah ta’ala menolong dan memberi Izzah bagi Islam wal muslimin.

Kepada Siapa Menuntut Ilmu

Ini sebuah pertanyaan yang mesti di jawab, jangan sampai kita menuntut ilmu agama ini kepada orang yang salah, bisa jadi kita tidak menganal islam bahkan bisa jadi kita membenci islam.

Dalam keremangan Islam ini, di saat Islam bercorak warna sangat sulit bagi kaum muslimin untuk mengenal siapa yang pantas di ambil ilmunya, Alhamdulillah Allah ta’ala tidak pernah membiarkan hamabanya kebingungan, Allah ta’ala membimbing hamba-hambanya dengan melahirkan para ulama. Allah ta’ala terangi kaum muslimin dengan mengutus pata ulama dan kepada merekalah kita bertanya.

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ عَلَى كَذَلِكَ

“Akan senantiasa ada (tidak akan hilang) di antara ummatku sekelompok orang yang eksis di atas kebenaran (al-jama’ah/thoifah al-manshuroh), tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.“ (HR. Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa kelompok yang selamat itu adalah ahli hadits, Berkata Musa bin Harun rohimahulloh :Aku telah mendengar Ahmad bin Hambal rohimahulloh ketika ditanya tentang hadits yang berbunyi “Umat akan berpecah menjadi 73 golongan, semua masuk neraka kecuali satu golongan”. Beliau mengatakan: “Jika yang dimaksud bukan thoifah al-manshuroh yakni – ahli hadits – maka aku tidak tahu lagi siapa mereka ini”. (diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam Ma’rifah ulumul hadits)

Demikianlah Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bahwa ada kelompok yang senantiasa memperjuangkan kebenaran yaitu ahli hadits. Oleh karena itu kita dapat mengenal mereka dari ilmu yang mereka ajarkan di antaranya adalah hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Sehingga terjawablah sudah pertanyaan di atas yaitu “Kita harus mengambil Ilmu dari para Ulama / Thullab yang mengajarkan Al-Qur’an, Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan hadits-hadits sahabat-sahabatnya.

Kenapa harus di tambahi dengan ucapan sahabat ? Ya karena Allah ta’ala menjamin terhadap mereka.

وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Demikianlah Allah ta’ala menjamin dan memuji terhadap para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, maka sepatutnyalah kita mengikuti orang-orang (ulama dan Thullabul Ilmi) yang mengajak kepada pemahaman para sahabat ridhwanullahu ‘alaihim ajma’in)

Jelaslah sekarang terlarangnya kita mengambil ilmu pada da’I yang hanya mengajarkan al-qur’an dan hadits saja apalagi hanya al-qur’an yang dipahami dengan akalnya belaka. Semoga Allah ta’ala melindungi kita dari kesesatan-kesesatan.

Dan semoga Allah ta’ala mudahkan kita mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Karena tidaklah ilmu itu bermanfaat bagi pembawanya kecuali ilmu itu diamalkan. Semoga Allah ta’ala mudahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu agama yang benar yang telah di amalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dan para sahabatnya. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Oleh : Abu Salma bin Rosyid

Dengan mengaharap pertolongan Allah ta’ala saya hadirkan sebuah tulisan yang menjelaskan tentang hakikat dakwah salafiyah, karena telah berkembang opini yang sangat kuat bahwa dakwah salafiyah adalah dakwah pemecah belah umat, keras kaku dan bermacam-macam tuduhan keji lainnya. Dan anehnya tuduhan keji itu berasal juga dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah sunnah, anti bid’ah, kebangkitan ummat dan nisbah-nisbah positif lainnya.

Dan tidak dipungkiri ramainya permusuhan blogger terhadap dakwah salaf ini, berangkat memang benci, tidak tahu, aatau memang benar-benar memusuhi. Tulisan ini hadir untuk menolong bagi siapa saja yang masih mengharap secercah tegaknya kejujuran.
Selamat membaca…!
Hakikat Dakwah Salafiyah
Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain

Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).

Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.

Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.
Definisi Salaf secara bahasa
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal.21.
Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.
Definisi Salaf secara Istilah
Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.
Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.

Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.

Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beilau. Allah memilih mereka untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.

Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.
Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Berkata Ath-Thohawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.

Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Quro dialah yang berada dilangit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini”.

Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.

Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya”.
Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.
Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.

Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.

Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh”.
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.
Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”.
Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5 : “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka”.

Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”. Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.
Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.

Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.

Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.

Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).
Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.

Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.
Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.

Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.

Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka”.
Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf“.
Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :
1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.
2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah”.

Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.

3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.

4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya”. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.
5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.
6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.
7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.
8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal.283.
9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).
10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.

Oleh : Abu Salma bin Rosyid

Kalah hujjah tidak mesti kemudian menerima dakwah salaf, memang begitulah sunnatullah tidak semua manusia yang telah mengenal kebenaran mampu melaksanakan kebenaran yang diketahuinya.
Iblis la’natullah ‘alaihi, dia di surga, mengetahui yang menciptakannya dan yang memerintah adalah Allah ta’ala. Bagaimana sikapnya ketika di suruh bersujud kepada Adam ‘alaihi salam ?
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“. (QS. Albaqoroh ayat 34)
Merasa lebih berilmu dari Penciptanya Iblis mendebat kepada Allah. lbaqSebagaimana firman Allah :
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS Al A’raaf :12)
Demikian juga ayat berikut :“Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS Shaad : 76)
Demikian juga musuh dakwah salafyah, banyak yang sudah mengetahui pokok-pokok dakwah salafyah, hujjah telah datang kepada sebagian mereka, namun karena nafsu, gengsi, harta, kedudukan dan segala macam yang bersifat rendah dan hina mereka tidak mau mengikuti kebenaran. Lebih dari itu mereka menanamkan di dalam dadanya bahwa dakwah salaf adalah musuh, dakwah salaf harus dirintangi dan kalau mampu dilenyapkan.
Alangkah indah dan berbobot apabila mereka yang tidak suka dengan dakwah ini mengkritik, mendebat, membicarakan prinsip-prinsip dakwah salafyah yang dengan itu metodologi Islam dan kebenaran akan dapat ditemukan.
Namun, mereka tidak lakukan itu, mereka tikam pembawa dakwah ini dengan fitnah dan tuduhan-tudauhan keji yang tidak pantas keluar dari lisan orang yang mengaku ummat manusia paling mulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mungkin dia dengan fitnah dan tuduhan keji ini berharp ummat akan lari dari dakwah salafyah. Namun toh Allah menjaga agamanya, dengan keadilanNya Allah lahirkan putra-putra kaum mulimin yang selalu bersifat obyektif dan ilmiah, senantiasa membela kebenaran pembawanya. Kelompok inilah yang bernama Thoifah Al-Manshuroh.
Mereka selalu tampil di depan membela Islam dan tokoh-tokoh Islam yang terdholimi.Sebagaimana sabda Ashshodiqul Masduq Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits
Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang mereka menampakkan di atas kebenaran tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencerca mereka orang sampai datang perintah Allah .(Hadits Mutawatir, Siapakah Golongan yang Selamat, Hal : 76, Cahaya Tauhid Pres, Malang. Terjemahan)
Dia Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu mujaddid pengibar tauhid dan sunnah. Hari ini atas karunia Allah hasil dakwahnya terus berkibar dilanjutkan oleh seluruh dai ahlussunnah. Namun celaan, fitnah dan kedustaan-kedustaan tidak sedikit ditujukan kepadanya.
Sebagai upaya membangun sifat sportif dan obyektif, meluruskan yang salah, memberi masukan yang seimbang bagi kaum muslimin yang netral , yang masih memiliki nurani, berikut kami tampilkan pembelaan dai salafy kepada beliau rohimahullahu. Mudah-mudahan dapat diambil pelajaran bagi siapa yang masih mau berfikir obyektif dan ilmiah. Lain lagi bagi orang-orang yang dihatinya telah melekat kuat sifat iblis yang sombong dan tidakperduli kepada kebenaran.
Selamat menyimak.
SIAPAKAH WAHABBIY?
Oleh:
Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaiman, Lc.
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena ‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi rahimahullahu[1]. Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan apa rahasia di balik itu semua …?
Para pembaca, dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As-Sunnah. Demikianlah misi para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat gelisah musuh-musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Musuh-musuh tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Di Najd dan sekitarnya:
-Para ulama suu` yang memandang al-haq sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai al-haq.
-Orang-orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang hakekat Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
– Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir hal.90-91, ringkasan keterangan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)
2. Di dunia secara umum: Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain-lain, Daulah Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam; Al-Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al-Qaeda, dan para kaki tangannya. (Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/ Musuh-Musuh Dakwah Tauhid) Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) –sebelum keruntuhannya–. Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan hizbiyyun.[2] Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan bagi pengikut dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162) Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’ buruk dan keji tentang dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini, menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak dijadikan bulan-bulanan oleh kejamnya informasi orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi [1].
SYUBUHAT DAN BANTAHANNYA
1.Tuduhan:Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi[3], ingkar terhadap Hadits nabi[4], merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al- Ushul Ats-Tsalatsah)
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim: “Aku beriman dengan syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 118).
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:Beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sebagai Khawarij, karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.
Bantahan:Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah[5]. Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani.
Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al- Ushulus Sittah: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad- abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya[6].
Lebih dari itu, sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash- hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka.[7]
Bantahan: Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani) mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah (kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam.[8]
Bantahan: Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)juga berkatadalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani: “Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad-Durar As- Saniyyah 1/136)
Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An- Najdiyyah, 1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)
Bantahan:Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau (syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) kepada para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang akan dia sampaikan,bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja ilmunya dari setan![9]
Bantahan: Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah, Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak,[10 ]di antaranya adalah:
Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman[11] dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman.[12]
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i.[13]
Di Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.[14] Asy-Syaikh Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani,[15 ]Asy-Syaikh Isma’il bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i,[16] Asy- Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani,[17] Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy- Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i.[18]
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam mereka.
Bantahan:Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan (meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[19]
Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama Makkah–.[20] Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/ bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Asy- Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir At- Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan Al-Qarrafah Mesir. Al- Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An- Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/ bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy- Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh, hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan- tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama lainnya seperti:
Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-’Allamah Muhammad Basyir As- Sahsawani Al-Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
’Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dsb.
Barakah Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah Arabia[21]
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid, ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan dunia mereka.Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu menyatukan negeri-negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera. Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab (timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818 M daulah ini diporak-porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Turki bin Abdullah bin Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai oleh Al-Imam Al-Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi ini/Barakah Dakwah Tauhid.
Di Dunia Islam [22]
Dakwah tauhid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar, Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia, Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir, Libya, Al-Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika dan Eropa.
Pujian Ulama Dunia terhadap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Dakwah Beliau
Pujian ulama dunia terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik, cukuplah disebutkan sebagiannya saja.[23]
1. Al-Imam Ash-Shan’ani (Yaman).
Beliau kirimkan dari Shan’a bait-bait pujian untuk Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana
Walaupun salamku dari kejauhan belum mencukupinya
2. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait-bait pujian terhadap Asy-Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan
Referensi utama para pahlawan dan orang-orang mulia
Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmu-ilmu agama
Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai
3. Muhammad Hamid Al-Fiqi (Mesir) . Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an…. dan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al-Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al-Imam Ar-Rabbani Al- Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar-benar telah menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat manusia) seperti di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia kepada daulah di masa Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.”
5. Asy-Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau –ketika dicap sebagai Wahhabi– berkata:
Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi
Maka kutegaskan bahwa aku adalah Wahhabi
Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku
Rabb selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi
6. Asy-Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Buthami (Qatar). Beliau berkata: “Sesungguhnya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi adalah seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana, dan tuduhan keji dari para penjahat (intelektual) terhadap Al-Imam Al Mujaddid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya dan mengaruniainya pahala–, yang telah mengeluarkan manusia dari gelapnya kesyirikan menuju cahaya tauhid yang murni…”
9. Ulama Saudi Arabia. Tak terhitung banyaknya pujian mereka terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya, turun-temurun sejak Asy-Syaikh masih hidup hingga hari ini.
Penutup
Akhir kata, demikianlah sajian kami seputar Wahhabi yang menjadi momok di Indonesia pada khususnya dan di dunia Islam pada umumnya. Semoga sajian ini dapat menjadi penerang di tengah gelapnya permasalahan, dan pembuka cakrawala berfikir untuk tidak berbicara dan menilai kecuali di atas pijakan ilmu.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Biografi beliau bisa dilihat pada Majalah Asy Syari’ah, edisi 21, hal. 71.
2 Untuk lebih rincinya lihat kajian utama edisi ini/Musuh-musuh Dakwah Tauhid.
3 Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
4 Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.
5 Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd dengan Daulah Utsmaniyyah .(lihat Majalah Asy Syariah Vol.II/No.22/1427H/2007M – red)
6 Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
7 Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.
8 Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.
9 Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.
10 Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.
11 Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.
12 Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.
13 Hafizh negeri Hijaz di masanya.
14 Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa’i Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad- Darimi dan semua karya tulis Al-Imam Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-’Arabiyyah dengan sanadnya dari Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi, Alfiyah Al- ‘Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik, Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh, buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam Ath-Thabrani, buku-buku As- Suyuthi dsb.
15 Ulama besar Madinah di masanya.
16 Penulis kitab Kasyful Khafa’ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.
17 Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
18 Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.
19 Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119
20 Ibid, hal. 76.(lihat Majalah Asy Syariah vol.II/no.22/
21 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As-Salman, yang dimuat dalam Majallah Al- Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal. 140-145.
22 Diringkas dari Haqiqatu Da’wah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab wa Atsaruha Fil ‘Alamil Islami, karya Dr. Muhammad bin Abdullah As Salman, yang dimuat dalam Majallah Al- Buhuts Al-Islamiyyah edisi. 21, hal.146-149.
[23] Untuk mengetahui lebih luas, lihatlah kitab Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal Munshifin wal Mu`ayyidin, hal. 82-90, dan ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 2/371-474.

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE