Latest Products

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan
Tata Cara Shalat Id
Pertama: Jumlah rakaat shalat Id ada dua, berdasarkan riwayat Umar Radhiyallahu 'anhu:
"Shalat safar itu ada dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat dan shalat Idul Fitri dua rakaat, dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam."1
Kedua: Rakaat pertama seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain).
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku."2
Berkata Imam Al Baghawi:
"Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir pada rakaat pertama shalat id sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali dan selainnya."3
Ketiga: Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat id.4 Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata: "Ibnu Umar -dengan semangat ittibanya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir."5
Berkata Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah hal 348:
"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat id diriwayatkan dari Umar dan putranya radhiyallahu anhuma, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih. Adapun dari Umar, Al Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang dhaif. Sedangkan riwayat dari putranya belum aku dapatkan sekarang."
Sedangkan Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz (hal 148) mengatakan:
"Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallalalhu 'alaihi wasallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir."
Keempat: Tidak shahih dari Nabi Shallallau 'alaihi wasallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapiada atsar dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu6 tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata:
"Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla."
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam diam sejanak di antara dua takbir, namuin tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut."
Kelima: Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al Fatihan. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat yang lain membaca surat Al Qamar.7 Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al A'la dan surat Al Ghasyiyah.8
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah:
"Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari beliau yang selain itu."9
Keenam: Selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun.10
Ketujuh: Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjamaah, maka hendaklah ia shalat dua rakaat.
Dalam hal ini Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya bab Apabila seseorang luput dari shalah id hendaklah ia shalat dua rakaat.11 Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2/550) berkata setelah menyebutkan tarjumah (judul bab dalam shahih Bukhari di atas) ini:
"Dalam tarjumah ini ada dua hukum: 1) disyari'atkan menyusul shalat id jika luput mengerjakannya secara berjama'ah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan, 2) shalat id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua rakaat."
Berkata Atha':
"Apabila seseorang kehilangan shalat id hendaklah ia shalat dua rakaaat."12
Al Allamah Waliullah Ad Dahlawi menyatakan:
"Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakaat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat id sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah bersama imam. Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadha untuk shalat id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali."13
Berkata Imam Malik dalam Muwatha (592) dengan riwayat Abu Mush'ab:
"Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-laki maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al Fatihah) dan lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca (Al Fatihah)."
Orang yang terlambat dari shalat id hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat id, sebagaimana shalat-shalat lain.14
Kedelapan: Takbir (shalat id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan15. Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.


--------------------
1. Dikeluarkan oleh Ahmad (1/370), An Nasa-i (3/183), At Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar (1/421) dan Al Baihaqi (3/200) dan sanadnya shahih.
2. Riwayat Abu Dawud (1150), Ibnu Majah (1280), Ahmad (6/70) dan Al Baihaqi (3/287) dan sanadnya shahih.
Peringatan: Termasuk sunnah, takbir dilakukan sebelum membaca (Al Fatihah) sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1152), Ibnu Majah (1278) dan Ahmad (2/180) dari Amr bin Syu'aib dari bapaknya dani kakeknya, kakeknya berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir dalam shalat id tujuh kali pada rakaat pertama kemudian beliau membaca surat, lalu bertakbir dan ruku', kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud." Hadits ini hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat: Irwa-ul Ghalil (3/108-112). Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh Al Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/443,444).
3. Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebaimana dalam syarhus sunnah (4/309). Lih: Majmu Fatawa (24/220-221).
4. Lih: Irwa-ul Ghalil (3/112-114).
5. Zadul Ma'ad (1/441).
6. HR. Al haqi (3/291) dengan sanad yang jayyid (bagus).
7. HR. Muslim (891), An Nasa-i (8413), Ibnu Majah (1282) dari Abi Waqid Al Laitsi Radhiyallahu 'anhu.
8. HR. Muslim (878), At Tirmidzi (533), An Nasa-i (3/184), Ibnu Majah (1281) dari Nu'man bin Bisyir Radhiyallahu 'anhu.
9. Zadul Ma'ad (1/443), Lih: Majalah Al Azhar (7/193).
10. Untuk lebih lengkap baca: Shifat Shalatun Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam karya Syaikh Al Albani.
11. Shahih Bukhari (1/134,135).
12. Shahih Bukhari (1/134,135).
13. Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 980) dan lihat kitab Al Majmu' (5/27-29).
14. Al Mughni (2/212).
15. Al Mughni (2/244) oleh Ibnu Qudamah
Kapan Disunnahkan Makan Pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha?
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma."1
Berkata Imam Al Muhallab:
"Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fitri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksanakan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana."2
Dari Buraidah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari raya kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya."3
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata:
"Adapun dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari mushalla, lalau beliau makan dari hewan kurbannya."4
Al Allamah Asy Syaukani menyatakan dalam Nailul Authar:
"Hikmah mengakhirkan makan pada hari Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyari'atkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah."5
Berkata Az Zain Ibnul Munayyir:
"Makannya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pada masing-masing Id terjadi pada waktu disyari'atkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fitri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya."6
Mandi Sebelum Shalat Id
Dari Nafi' ia berkata:
"Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma biasa mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla."7
Imam Said Ibnul Musayyib bekata:
"Sunnah Idul Fitri itu ada tiga: berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi."8
Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para shahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal demikian.
Berkata Imam Ibnu Qudamah:
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fitri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga 'Urwah, Atha', An Nakha-i, Asy Sya'bi, Qatadah, Abu Zinad, Asy Syafi'i dan Ibnul Mundzir."9
Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif.10
Apakah Ada Shalat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Id
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dua rakaat pada hari Idul Fitri, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya."11
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunnah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat Id dan tidak pula sesudahnya."
Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Bari:
"Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Id tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya dengan shalat Jum'at."12
Waktu Pelaksanaan Shalat Id
Abdullah bin Busr, sahabat Nabi Shallallau 'alaihi wasallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata, "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih."13 Ini riwayat yang paling shahih14 dalam babn ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.
Berkata Ibnul Qayyim:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit."15
Shiddiq Hasan Khan menyatakan:
"Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma' atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincirnya matahari."16
Berkata Syaikh Abu Bakar Al Jazairi:
"Waktu shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fitri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat fitri mereka."17
Peringatan: Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya. Abu Dawud (1157), An Nasa-i (3/180) dan Ibnu Majah (1653) telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya."
Shalat Id Tanpa Adzan dan Iqamah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah."18
Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhum berkata:
"Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha."19
Berkata Ibnul Qayyim:
"Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam apabila telah tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ada ucapan "Ashalatu jaami'ah". Yang sunnah semua itu tidak dilakukan."20
Iman As Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini:
"Ini merupakan dalil tidak disyari'atkan azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bid'ah."21

-----------------
1. HR. Bukhari (953), Tirmidzi (543), Ibnu Majah (1754) dan Ahmad (3/126,164,232).
2. Fathul Bari (2/447).
3. HR. Tirmidzi (542), Ibnu Majah (1756), Ad Darimi (1/375) dan Ahmad (5/352) dan isnadnya hasan.
4. Zadul Ma'ad (1/441).
5. Lih: Al Mughni (2/371).
6. Lih: Fathul Bari (2/448).
7. HR. Malik (1/177), Asy Syafi'i (73) dan Abdurrazzaq (5754) dan sanadnya shahih.
8. Riwayat Al Firyabi (127/1-2) dengan sanad shahih sebagaimana dalam Irwa-ul Ghalil (2/104).
9. Al Mughni (2/370).
10. Hadits tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah (1315). Didalam sanadnya ada rawi Jubarah ibnul Mughallas dan gurunya, keduanya merupakan rawi yang lemah. Juga diriwayatkan dalam (1316) didalam sanadnya ada rawi Yusuf bin Khalid As Samti, lebih dari satu orang ahli hadits menganggapnya kadzab (suka dusta).
11. HR. Bukhari (989), At Tirmidzi (537), An Nasa-i (3/193) dan Ibnu Majah (1291).
12. Lih: Syarhus Sunnah (4/316,317).
13. Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah lewat waktu diharamkannya shalat. Lih: Fathul Bari (2/457) dan An Nihayah (2/331).
14. Bukhari menyebutkan hadits ini secara muallaq dalah shahihnya (2/456) dan Abu Dawud meriwayatkan secara bersambung (1135), Ibnu Majah (1317), Al Hakim (1/295) dan Al Baihaqi (3/282) dan isnadnya shahih.
15. Zadul Ma'ad (1/442).
16. Al mau'idhah Al Hasanah (43, 44)
17. Minhajul Muslimin (278).
18. HR. Muslim (887), Abu Dawud (1148) dan Tirmidzi (532).
19. HR. Muslim (887), Abu Dawud (1148) dan Tirmidzi (532).
20. Zadul Ma'ad (1/442).
21. Zadul Ma'ad (1/442).
 Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari
Keluar Menuju Mushalla
Dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat...1
Berkata Al Allamah Ibnul Hajj Al Maliki:
"Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ' Shalat di masjidku ini labih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid al haram'.2
Kemudian walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau shallallahu 'alaihi wasallam tetap keluar ke mushalla dan meninggalkan masjidnya."3
Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi menyatakan4:
"Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radhiyallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.5
Siapa yang tidak mempu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya, Insya Allah."6
Disini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat. Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangnya mushalla meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh Ulama.7 Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.
Mengambil Jalan Yang Berlainan Ketika Pergi dan Kembali dari Mushalla
Dari Jabir bin Abdillan Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan."8
Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:
"Beliau shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengambil jalan yang berbada pada hari raya. Beliau pergi ke mushallan melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan tersebut. Ada yang mengatakan agar mendapatkan barakahnya dua jalan yang berbeda. Ada pula yang mengatakan agar beliau dapat memenuhi hajar orang yang butuh pada beliau pada dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak kosong dari hikmah."9
Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas beliau mengomentari:
"Kalaupun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunnahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam."10
Peringatan:
Pertama: Berkata Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/302-303), "Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi ke mushalla setelah melaksanakan shalat subuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat."
Kedua: At Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: "Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat id dengan jalan kaki."11
Takbir Pada Idul Fitri dan Idul Adha
Allah ta'ala berfirman:
"Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur."
Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Beliau keluar pada hari Idul Fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir."12
Berkata Al Muhaddits Syaikh Al Albani:
"Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir sejara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remah sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita...
Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyaratkan berkumpul atas satu suara sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyari'atkan untuk mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut13 dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau menjawab:
"Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta para imam berpegang dengannya adalah: hendaklah bertakbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyari'atkan bagi setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyari'atkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat."14
Penulis (Syaikh Ali bin Hasan) berkata:
Ucapan beliau (Syaikhul Islam) rahimahullah, '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus- tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab Iedain dari Shahih Bukhari (2/461) Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah:
"Umar radhiyallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di Masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir."
"Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya."
"Maimunah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid."
"Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam."15
Sepanjang yang diketahui penulis bahwa tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang diriwayatkan dari sebagian sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in.
Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadz:
"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan untuk Allahlah segala pujian."16
Sedang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma bertakbir dengan lafadz:
"Allah Maha Besar 3x dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita."17
Abdurrazzaq dan dari jalannya Al baihaqi dalam As Sunanul Kubra (3/316) meriwayatian dengan sanad yang shahih dari Salman Al Khair Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
"Agungkanlah Allah dengan mengucapkan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira."
Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan oleh salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/536):
"Pada masa ini telah diada-adakan satu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalnya."

-------------------
1. HR. Bukhari (956), Muslim (889) dan An Nasa-i (3/187).
2. HR. Bukhari (1190) dan Muslim (1394).
3. Al Madkhal (2/283).
4. Al Mughni (2/229-230).
5. Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan meruju pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam Syahrus Sunnan Tirmidzi (2/421-424). Dan Syaikh Al Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul Shalat Al Idain fil Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah.
6. Al Mughni (2/229-230).
7. Lih : Nihayah Al Muhtaj (2/375) oleh Ar Ramli.
8. HR. Bukhari (986).
9. Zadul Ma'ad (1/449).
10. Raudhatuth Thalibin (2/77).
11. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi (1/164).
12. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf dan Al Muhamili dalam Kitab Shalatul Iedain dengan isnad shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Lih: Silsilah Al Ahadits As Shahihah (170). Takbir pada idul Fitri dimulai pada waktu keluar untuk menunaikan shalat id.
13. Silsilah Al Ahadits As Shahihah (1/121). Syaikh Al Allamah Hamud At Tuwaijiri memiliki risalah tersendiri tentang pengingkaran takbir yang dilakukan secara berjamaah.
14. Majmu' Al Fatawa (24/220) dan lihat Subulus Salam (2/71-72).
15. Diriwayatian oleh Ad Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lih : Irwa-ul Ghalil (650).
16. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/168) dengan isnad yang shahih.
17. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi (3/315) dengan sanad shahih
Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari
Makna Id (Hari Raya)
Id secara bahasa artinya setiap hari yang didalamnya ada perkumpulan. Diambil dari kata ['aada-ya'uudu] artinya kembali, karena seakan-akan mereka selalu kembali padanya. Adapun yang berpendapat bahwa id diamil dari kata 'adat atau kebiasaan' [al 'aadah], karena mereka menjadikannya sebagai kebiasaan. bentuk jamaknya adalah [al 'iyaadu]. Bila dikatakan ['iyadul muslimin] maknanya 'mereka menyaksikan hari raya (id) mereka. Ibnul 'Arabi mengatakan, "Id dinamakan dengan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru."1
Berkata Al 'Allamah Ibnu 'Abidin:
"Id dinamakan dengan nama ini, karena milik Allah-lah pada hari itu segala macam kebaikan, yakni macam-macam kebaikan yang kembali atas hamba-hamba-Nya dalam setiap hari, diantaranya kebolehan berbuka (menyantap makanan dan minuman) setelah sebelumnya dilarang, sedekah (zakat) fitri, sempurnanya pelaksanaan ibadah haji dengan tawaf ziarah, daging-daging kurban dan selainnya. Dan karena kebiasaan pada hari itu sarat dengan kebahagiaan, kegembiraan, kesenangan dan nikmat."2
Rahmat Allah bagi Umat Muhammad dengan Dua Hari Raya
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya pada masa Jahiliah.3 Maka beliau bersabda:
"Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian bersenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu hari raya kurban dan hari idul fitri."4
Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna:
"Maksudnya karena hari Idul Fitri dan hari Raya Kurban ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk makhluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu haji dan puasa. Pada dua hari tersebut Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-NBya kepada seluruh makhluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu yang tentunya disesuaikan dengan zaman, selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan pudar. Maka perbedaan keistimewaan dari Idul Fitri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya."5
Bolehnya Mendengarkan Rebana yang Dimainkan Anak Perempuan Kecil.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk menemuiku sedang di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi6 dengan nyanyian Bu'ats. Lalu beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu menghardikku dan berkata, 'seruling syaitan di sisi nabi shallallahu 'alaihi wasallam?' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata, 'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar."
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari rayam dan ini adalah hari raya kita."7
Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (4/322) mengatakan:
"Bu'ats8 adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selam 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi menggambarkan (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membatu tegaknya perkara agama.
Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang didendangkan di hadapan beliau shallallahu 'alaihi wasallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya.
Sabda beliau 'Ini adalah hari raya kita', beliau mengemukakan alasan dari 'Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lin."
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"Dalam hadits ini ada beberapa faedah, disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama."9
Berpenampilan Indah Pada Hari Raya
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma ia berkata, Umar mengambil sebuah jubah dari sutra tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar, "Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian." Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirimkan kepadanya jubah dari sutra. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. ia berkata, Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapatkan bahagian, dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Umar, "Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya."10
Berkata Al Allamah As Sindi:
"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini."11
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata:
"Ibnu Abi Dunya dan Al Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fitri dan Idul Adha."12
Beliau juga menyatakan:
"Sisi pendalilan dengan hadits ini adalah taqrirnya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutra."13
Dalam Al Mughni (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan:
"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur."
Malik berkata:
"Aku mendengan ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya."
Berkata Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad (1/441):
"Nabi shallallau 'alaihi wasallam memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasanya dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah,14 namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikianb bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman."

-------------------
1. Lisanul Arab (3/319).
2. Hasyiyah Ibnu Abidin (2/165).
3. Yaitu Hari Raya Nairuz dan Hari Mahrajan. Lih: 'Aunu Ma'bud (3/485) oleh Al 'Adhim Abadi.
4. HR. Ahmad (3/103, 178, 235), Abu Dawud (1134), An Nasa-i (3/179) dan Al Baghawi (1098), hadits Shahih.
5. Fathur Rabbani (6/119).
6. Dalam Riwayat lain ada lafadh : 'dan keduanya bukanlah penyanyi'. Lih: Syarhu Muslim (6/182) oleh Imam Nawawi.
7. Kedua hadts ini diriwayatkan oleh Bukhari (949, 952, 987, 2097, 3530, 3931). Diriwayatkan juga oleh Muslim (892), Ahmad (6/134) dan Ibnu Majah (1898).
8. Lih: An Nihayah (1/139) oleh Ibnul Atsir Al Jazari.
9. Fathul Bari (2/443).
10. HR. Bukhari (886, 94f8, 2104, 2169, 3045, 5841, 5891, 6081), Muslim (2068), Abu Dawud (1076), An Nasa-i (3/181, 8/196, 198), Ahmad (2/20, 30, 49).
11. Hasyiyah As SIndi 'ala an Nasa-i (3/181).
12. Fathul Bari (2/439).
13. Fathul Bari (2/434).
14 Lih: Silsilah As Shahihah (1279).
Syaikh Abul Hasan Mustafa bin Isma'il as Sulaimani (seorang alim dari Mesir yang kini tinggal di Yaman, murid senior Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i) telah ditanya mengenai hukum shalat 'ied, wajib atau sunnah. Maka beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
Berkaitan dengan persoalan hukum shalat ied maka ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ummat, yaitu:
1. Shalat 'ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
2. Fardhu kifayah, artinya dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat 'ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal dikalangan madzhab Hambali.
3. Fardhu 'ain, artinya berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalil-Dalil
Pendapat pertama:
Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadit yang muttafaq 'alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata:
Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam." Ia bertanya lagi, "Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja." Beliau melanjutkan,"Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan". Ia bertanya, "Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya?" Beliau menjawab, "Tidak melainkan hanya amalan sunnah saja."
Perawi (Thalhah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan zakat kepadanya, ia pun bertanya adakah punya kewajiban lainnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Tidak kecuali hanya amalan sunnah saja."
Perawi mengatakan, setelah itu orang ini pergi seraya berkata, "Demi Allah saya tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi ini." Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)."
Mereka mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajibn 'ain. Dua shalat 'ied termasuk dalam keumuman ini. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnu al Mundzir dalam al Ausath (4/252).
Pendapat kedua:
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni yang berpendapat bahwa shalat 'ied adalah fardhu kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat 'ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalah 'ied juga merupakan syi'ar Islam. Disamping itu mereka juga berdalil dengan firman Allah:
"Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu)." (Al Kautsar : 2).
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits yang pertama disebutkan di atas dengan hadits-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat 'ied. Lih: Al Mughni (2/224).
Pendapat ketiga:
Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini. Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan wajib 'ainnya shalat 'ied.
Beliau menyebutkan bahwa dahulu para sahabat melaksanakan shalat 'ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi. Berarti hl ini menunjukkan bahwa shalat 'ied termasuk jenis shalat jum'at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak pernah membiarkan shalat 'ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat jum'at. Hal ini tidak didapat dalam shalat istisqa'.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat 'ied di Masjid bagi golongan kaum muslimin yang lemah. Andaikata shalat 'ied itu sunnah, tentu Ali Radhiyallahu 'anhu tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.
Dalil yang lain bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari 'ied dan doa kaum mukminin. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika itu ada diantara kaum wanita yang berkata kepada belian Shallallahu 'alaihi wasallam bahwa salah seorang diantara mereka tidak memilik jilbab, maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab:
"Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya." (Muttafaq 'alaih dengan lafadz Imam Muslim)
Padahal dalam shalat Jum'at dan shalat berjama'ah, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bagi para wanita"
"Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka."
Juga bahwa shalat Jum'at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat 'ied yang tidak ada gantinya. Shalat 'ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat jum'at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih dalam satu tahun. Sementara itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun memerintahkan ummatnya untuk melaksanakan shalat 'ied, memerintahkan agar umatnya keluar menuju shalat 'ied. Beliau dan kemudian disusul oleh para khalifahnya serta kaum muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat 'ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam shalat 'ied ditinggalkan, sedangkan shalat 'ied termasuk syi'ar Islam yang paling agung.
Firman Allah:
"Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya." (Al Baqarah : 185)
Pada ayat itu Allah Ta'ala memerintahkan bertakbir pada hari 'Iedul Fitri dan 'Iedul Adha. Artinya pada hari itu Allah memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan sesuai dengan cara takbir pada raka'at pertama dan raka'at kedua.
(Demikian secara ringkas apa yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (24/179-183) disertai sedikit tambahan keterangan dan pengurangan)
Imam Shan'ani dan Sidiq Hasan Khan dalam Raudhatun Nadiyah menambahkan bahwa apabila hari 'ied dan jum'at bertemu maka hari 'ied menggugurkan kewajiban shalat jum'at. Padahal shalat jum'at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. (Lih: Subulus Salam 2/141).
Para ahli pendapat ketiga ini membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits yang mengisahkan persoalan orang Badui (dari Nejed) itu mengandung beberapa kemungkinan:
a) Mungkin karena orang tersebut tidak berkewajiban shalat jum'at sehingga apalagi shalat 'ied.
b) Mungkin pula karena hadits tersebut khusus menerangkan masalah kewajiban shalat dalam sehari semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). [Lih: Kitabus Shalah, Ibnul Qayyim].
Hadits tersebut masih bisa dibantah dari sisi lain, yaitu bahwa keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waku sehari semalam) telah dikhususkan dengan shalat nazar. Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nazar ada dalilnya sendiri, maka demikian pula kewajiban shalat 'ied juga ada dalilnya sendiri. Jika dibantah lagi bahwa kewajiban shalat nazar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nazar) untuk melaksanakan shalat tersebut, maka dijawab bahwa demikian untuk shalat nazar apalagi shalat yang kewajiban ditetapkan oleh Allah utuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang diwajibkan sendiri.
Adapun argumentasi dari pendapat fardhu kifayahnya shalat 'ied yakni Al Kautsar : 2 dan bahwa shalat 'ied merupakan syi'ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan wajib 'ainnya shalat 'ied.
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah, bahwa shalat 'ied adalah shalat yang tidak didahului adzan dan iqamat hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash. Disamping itu sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat 'ied adalah karena:
1) Mereka keluar menuju tanah lapang dan karean jauhnya dari tempat pemukiman.
2) Sebelumnya mereka telah menunggu-nuggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah siap sedia untuk melaksanakan shalat 'ied pada pagi harinya, dan menghentikan segala kesibukank lain, berbeda dengan shalat lima waktu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Siapa yang berpendapat shalat 'ied itu fardhu kifayah maka perlu dikatakan bahwa hukum fardhu kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang mashlahatnya data tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang. Sedangkan shalat 'ied mashlahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau mashlahat shalat 'ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang), berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar mashlahat shalat tersebut dapat tercapai? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab satu, atau dua, atau tiga orang dan seterusnya.
Syaikh Abul Hasan Mustafa kemudian mengatakan:
"Imam Shana'ani, Imam Syaukani, Syaikh Al Albani, Syaikh al Utsaimin berpegang pada pendapat bahwa shalat 'ied adalah wajib 'ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya. Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur ulama, namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan hukumnya wajib 'ain, berdasarkan kekuatan dalil yang mereka gunakan, terutama karena sejumlah ulama juga berpendapat seperti ini. Begitulah kiranya sikap adil. Wallahu a'lam."

Maraji': As Sunnah 07 / III / 1419 - 1998

FREE WORLDWIDE SHIPPING

BUY ONLINE - PICK UP AT STORE

ONLINE BOOKING SERVICE